Minggu, 17 Februari 2013


BAB II
GAGAL GINJAL
A.    Gejala Gagal Ginjal
Setiap orang dapat terkena penyakit ginjal. Namun, mereka yang disarankan melakukan pemeriksaan dini adalah orang yang memiliki faktor resiko tinggi, yakni mereka yang memiliki riwayat darah tinggi dikeluarga, diabetes, penyakit jantung, serta ada anggota keluarga yang dinyatakan dokter sakit ginjal(4).
Gagal ginjal kerap tanpa keluhan sama sekali, bahkan, tak sedikit penderita mengalami penurrunan fungsi ginjal hingga 90% tanpa didahului keluhan. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada jika mengalami gejala – gejala seperti tekanan darah tinggi, perubahan jumlah kencing, ada darah dalam air kencing, bengkaka pada kaki dan pergelangan kaki, rasa lemah serta sulit tidur, sakit kepala, sesak, dan merasa mual dan muntah(4).
Salah satu jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mengetahui kesehatan  ginjal adalah pemeriksaan urin. Jika ada kandungan protein atau darah dalam kencing tersebut, maka menunjukkan kelainan dari ginjal. Selain itu, pemeriksaan darah juga bisa dilakukan guna mengukur kadar kreatinin dan urea dalam darah. Jika kadar kedua zat itu meningkat, maka itu menunjukkan gejala kelainan pada ginjal. Pemeriksaan tahap lanjut untuk mengenali kelainan ginjal adalah pemeriksaan radiologis dan biopsi ginjal. Biasanya pemeriksaan ini atas indikasi tertentu dan sesuai saran dokter(4).
Tanda – tanda dari gagal ginjal sebenarnya tidak kelihatan secara bersamaan. Dengan pemeriksaan laboratorium, dapat diketahui dengan lebih cermat dan akurat apakah tanda – tanda itu mengarah pada kemungkinan gagal ginjal(4).
Meskipun begitu, beberapa tanda dan gejala gagal ginjal berikut ini perlu diwaspadai(4):
1.      Kencing terasa kurang dibandingkan dengan kebiasaan sebelumnya
2.      Kencing berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam untuk kencing
3.      Napas bau karena adanya kotoran yang mengumpul dirongga mulut
4.      Gatal – gatal terutamanya dikaki
5.      Sering bengkak di kaki, pergelangan, tangan, dan muka. Antara lain karena ginjal tidak bisa membuang air yang berlebih
6.      Kehilangan nafsu makan, mual, dan muntah
7.      Lekas capai atau lemah, akibat kotoran tidak bisa dibuang oleh ginjal. Sesak napas, akibat air mengumpul diparu – paru. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai asma atau kegagalan jantung
Berikut ini adalah beberapa hal yang amat penting untuk diperhatikan sehubungan dengan gejala gagal ginjal(4):
1.      Pada permulaan, gagal ginjal mungkin adalah asimtomatik (tidak mengahasilkan gejala – gejala apa saja). Ketika fungsi ginjal berkurang, gejala – gejala dihubungkan dengan ketidakmampuan mengatur keseimbangan – keseimbangan air dan elektrolit – elektrolit untuk mengeluarkan produk – produk sisa dari tubuh dan memajukan produksi sel darah merah. Kelesuan, kelemahan, sesak napas, dan pembengkakan umum mungkin terjadi.
2.      Metabolik asidosis, atau peningkatan asam dari tubuh yang disebabkan oleh ketidakmampuan menghasilkan bikarbonat, akan mengubah metabolisme enzim dan oksigen sehingga menyebabkan gagal organ.
3.      Tingkat – tingkat urea yang naik didalam darah dapat mempengaruhi fungsi dari banyak organ yang berkisar dari otak (encephalopathy) dengan perubahan dari pemikiran, keperadangan lapisan jantung (pericarditis), kefungsi otot yang berkurang karena tingkat – tingkat kalsium yang rendah (hypocalsemia).
4.      Kelemahan keseluruhan dapat terjadi disebabkan oleh anemia, suatu jumlah sel darah merah yang berkurang, karena tingkat eritropoetin yang rendah tidak menstimulasi secara tepat sumsum tulang.
5.      Karena ginjal tidak dapat menanggapi beban asam yang naik didalam tubuh, bernapas menjadi lebih cepat ketika paru – paru mencoba untuk menyangga keasaman dengan membuang (menghembus keluar) karbondioksida. Tekanan darah mungkin naik karena kelebihan cairan, dan cairan ini dapat menumpuk diparu – paru, menyebabkan gagal jantung kongesti (Congestive Heart Failure).
6.      Ketika produk – produk sisa mengumpul didalam darah, kehilangan nafsu makan, kelesuan, dan kelelahan menjadi nyata. Ini akan melaju ke titik dimana fungsi mental akan berkurang dan koma mungkin terjadi. 
B.     Penyebab Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi akibat situasi akut atau dari persoalan – persoalan kronis. Pada gagal renal akut, fungsi ginjal hilang secara cepat dan dapat terjadi dari suatu keanekaragaman dari insult pada tubuh. Penyebab – penyebab dikategorikan berdasarkan pada dimana luka telah terjadi(4).
1.      Penyebab Pre Renal
Dalam hal ini, penyakit disebabkan oleh penyediaan darah ke ginjal yang berkurang. Penyebab – penyebab pre renal antara lain adalah(4):
a.       Hipovolemia (volume darah yang rendah) disebabkan oleh kehilangan darah.
b.      Dehidrasi dari kehilangan cairan tubuh (muntah, diare, berkeringat, demam).
c.       Pemasukan cairan yang sedikit.
d.      Obat, contohnya diuretik (water pills) mungkin menyebabkan kehilangan air yang berlebihan.
e.       Kehilangan penyediaan darah ke ginjal disebabkan oleh halangan dari arteri atau vena renal.
2.      Penyebab Renal
Dalam hal ini, kerusakan secara langsung terjadi pada ginjal sendiri. Yang termasuk penyebab renal adalah(4):


a.       Sepsis
Sistem imun tubuh ditaklukan oleh infeksi dan menyebabkan peradangan dan penutupaan atau penghentian dari ginjal. Ini biasanya tidak terjadi dengan infeksi – infeksi saluran kencing.
b.      Obat – Obat
Beberapa obat beracun untuk ginjal, termasuk obat – obatan antiperadangan nonsteroid seperti ibuprofen dan naproxen. Yang lain adalah antibiotik seperti aminoglycosides, lithium(eskalith, lithobid), obat – obat yang mengandung iodine seperti yang disuntikkan untuk studi – studi radiologi dengan dye (zat pewarna).
c.       Rhabdomyolysis
Ini adalah suatu situasi dimana ada penguraian otot yang signifikan didalam tubuh, dan produk – produk degenerasi dari serat –serat oto menyumbat sistem penyaringan dari ginjal. Sering terjadi karena trauna dan luka yang menghancurkan. Juga disebabkan oleh beberapa obat yang digunakan untuk merawat kolesterol yang tinggi.
d.      Multipel Myeloma
e.       Acute Glomerulonphritis
Peradangan dari glomeruli. Sistem penyaringan dari ginjal. Banyak penyakit dapat menyebabkan peradangan ini termasuk systemic lupus erythematosus, wegener’s granulomatosis, dan Goodpasture syndrome.
3.      Penyebab Post Renal
Penyebab post renal disebakan oleh faktor – faktor yang mempengaruhi aliran urin, antara lain(4):
a.       Halangan atau rintangan dari katong kemih atau ureter dapat menyebabkan tekanan balik ketika tidak ada tempat untuk urin. Ketika tekanan cukup meningkat ginjal menutup.
b.      Prostatic hypertrophy atau kanker prostat mungkin menghalangi uretra dan mencegah kantong kemih mengosongkan diri. Tumor didalam perut yang mengelilingi dan menghalangi ureter – ureter.
c.       Batu – batu ginjal
Gagal ginjal yang kronis berkembang dalam waktu berbulan – bulan dan bahkan bertahun – tahun. Penyebab – penyebab yang paling umum dari gagal renal kronis dihubungkan dengan(4):
a.       Diabetes yang terkontrol dengan buruk.
b.      Tekanan darah tinggi yang terkontrol dengan buruk.
c.       Chronic glomerulonephriris.
Penyebab – penyebab yang lebih tidak umum(4):
a.       Polycystic kidney disease.
b.       Reflux nephropathy.
c.       Batu – batu ginjal.
d.      Penyakit prostat.
C.    Komplikasi Ginjal
Seperti penyakit menahun lainnya, penyakit ginjal kronik (PGK) juga disertai oleh komplikasi. Komplikasi yang seringkali ditemui pada penderita PGK adalah anemia, Osteodistrofi renal, gagal jantung, dan disfungsi ereksi(4).
1.      Anemia
Anemia terjadi jika kadar sel darah merah dalam tubuh rendah. Sel darah merah ini bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan, sehingga tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan sehari – hari.
Penderita Gagal Ginjal Kronik, anemia dapat terjadi karena berkurangnya produksi hormon eritropoietin (EPO) akibat berkurangnya massa sel – sel tubulus ginjal. Hormon ini doperlukan oleh sumsum tulang untuk merangsang pembentukan sel – sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Jika eritropoietin berkurang, maka sel – sel darah merah yang terbentuk pun akan berkurang, sehingga timbullah anemia.
Faktor yang juga berperan dalam terjadinya anemia adalah kekurangan zat besi, asam folat, vitamin B12, dan kartinin, pengahambat eritropoietin (peradangan, hipertroparatiroidisme), perdarahan, dan umur sel darah merah yang memendek (misalnya pada anemia hemolitik, anemia sickle cell/ anemia bulan sabit).
Gejala – gejala yang muncul pada saat anemia adalah mudah lelah, tampak pucat, kurang bertenaga, pusing, sulit berkonsentrasi, nafsu makan berkurang, sulit tidur, jantung berdebar – debar, dan sesak napas.
Untuk mengatasi anemia, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satu cara dengan pemberian EPO. EPO atau eritropoietin adalah obat untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Diberikan dengan cara disuntikkan kebawah kulit (subcutan) atau kedalam vena (intravena).
Cara lain yang dapat dilakukan adalah pemberian zat besi. Untuk membuat sel darah merah, tubuh juga memerlukan zat besi dalam jumlah yang cukup. Karena itu, supaya efektif, pemberian EPO biasanya dilakukan bersamaan dengan pemberian zat besi. Zat besi diberikan dalam bentuk pil atau suntikan intravena.
Jika tidak diobati anemia dapat menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga terjadi penebalan jantung sebelah kiri (LVH atau Left Ventricular Hypertrophy) yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung.
2.      Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal adalah kelainan tulang pada PGK yang terjadi akibat gangguan metabolisme mineral. Pada keadaan ini, ginjal gagal mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan fosfat dalam darah. Ada tiga jenis osteodistrofi renal yaitu orteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis.
Faktor utama yang berperan dalam terjadinya osteodistrofi renal adalah penurunan fungsi ginjal, hiperparatiroidisme sekunder (kelenjar paratiroid membesar karena bekerja ekstra), dan defisiensi (kekuarangan) dan resistensi vitamin D aktif.
Ada beberpa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi osteodistrofi ini antara lain:
a.       Diet rendah fosfat, batasi konsumsi keju, susu, kacang merah kering, kacang polong, kacang – kacangan, selai kacang. Kurangi asupan coklat, soda, dan bir.
b.      Pemakaian obat pengikat fosfat, untuk mengurangi penyerapan fosfor kedalam darah (contohnya kasium karbonat atau kalsium asetat). Terapi diberikan sampai kadar fosfat 4,5 mg/dL dan kalsium 10 mg/dL. Pada penderita yang menjalani hemodialisis, pemberian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat memicu terjadinya hiperkalsemia. Untuk menghindarinya, maka kadar kalsium dalam dialisat diturunkan dari 3.25 – 3.50 mEq/L menjadi 2.5 mEq/L.
c.       Paratirodisme subtotal (pengangkatan sebagian besar kelenjar paratiroid), biasanya dilakukan pada demineralisasi tulang yang berat, hiperkalsemia atau pruritus (gatal – gatal) yang membandel.
d.      Vitamin D, untuk mengurangi hiperparatiroidisme sekunder, diberikan kolsitriol, sampai kadar hormon paratiroid mencapai 2 – 3 kali normal (130 – 195 pg/mL[13.7 – 20.5 pmol/L]). Diberikan jika kadar pengikat fosfat tidak berhasil menurunkan kadar fosfat dalam darah.
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan ddengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsiterol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisi yang dilakukan pada pasien gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia(5).
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2.1(5).








Asidosis Metabolik
 


Kelebihan Ca dan Vit D, peritoneal dialisis, diabetes
 

Dialysis related amyloidosic
 

A dinamic bone disease
 

Osteomalasia
 

Osteitis fibrosa cystics
(high- tumover bone disease)
 

Hiperplasi kelenjar paratiroid
 

Peningkatan PTH
 

Penurunan Ca2+ terionisasi
 

Penurunan   Hormon kalsitriol
 

Akumulasi β3 – mikroglobulin
 

Intoksikasi Al3+
 

Penurunan Fungsi Ginjal
 

Hiperfosfatemia
 
Gambar 2.1 patogenesis terjadinya osteodistrofi renal(5)



Pemberian kalsiterol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat di jaringan, yang disebut klasifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2.5 kali normal(5).
3.      Gagal Jantung
Penderita PGK juga beresiko mengalami gagal jantung atau penyakit jantung iskemik. Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah yang memadai keseluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung bisa menyerang jantung bagian kiri, bagian kanan atau keduanya.
Beberapa gejala yang muncul adalah sesak napas, merasa lelah, tidak ada nafsu makan, bengkak dipergelangan kaki, kaki, tungkai (kadang perut), batuk (yang semakin memburuk pada malam hari atau ketika berbaring), berat badan bertambah, dan sering berkemih.
Gagal jantung pada PGK biasanya didahului oleh anemia. Jika tidak diobati, anemia pada PGK bisa menimbulkan masalah yang serius. Jumlah sel darah merah yang rendah akan memicu jantung sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal ini menyebabakan pelebaran bilik jantung yang disebut LVH 9left ventricular hipertrophy). Lama kelamaan, otot jantung akan melemah dan tidak mampu memompa darah sebagaimana mestinya sehingga terjadilah gagal jantung. Hal ini dikenal dengan nama sindrom kardiorenal.
Berat ringannya gagal jantung, biasanya dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap kegiatan sehari – hari. Derajat 1 tanpa keluahan (masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari – hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak napas), derajat 2 ringan (aktivitas ringan/sedang menyebabkan kelelahan atau sesak napas, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun akan hilang), derajat 3 sedang (aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan atai sesak napas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan), derajat 4 berat (tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari – hari, bahkan pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas.
Untuk mengatasinya, sekurang - kurangnya ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, perubahan gaya hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan diet rendah garam, membatasi asupan cairan, dan berhenti merokok. Kedua, mengkonsumsi obat – obatan. Obat – obatan diberikan untuk membantu memperbaiki fungsi jantung dan meringankan gejalanya. Beberapa obat yang dikenal adalah diuretik (untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan), penghambat ACE (ACE inhibitors), penyekat beta ([beta blockers] untuk mengurangi denyut jantung dan menurunkan tekanan darah agar beban jantung berkurang) dan gigoksin (untuk memperlambat denyut dan daya pompa jantung).  
4.      Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk mencapai ereksi atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual. Untuk mencapai suatu kepuasan dalam melakukan hubungan seksual, diperlukan ereksi yang keras sampai kaku, agar bisa dilakukan penetrasi dan bertahan sampai terjadinya ejakulasi.
Gangguan sistem endokrin yang terjadi pada PGK menyebabkan berkurangnya produksi hormon testosteron. Hormon ini diperlukan untuk menghasilkan sperma (spermatogenesis), merangsang libido dan fungsi seksual yang normal. Selain itu, secara emosional penderita PGK juga mengalami perubahan emosi. Perasaan cemas, khawatir dan depresi dapat menyebabkan terkurasnya energi, berkurangnya kemampuan dan hilangnya keinginan untuk melakukan aktivitas seksual.
Untuk mengatasinya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Petama adalah terapi sulih hormon. Dalam terapi ini testosteron diberikan dalam bentuk suntikan, gel yang diloeskan kekulit atau skin pacth yang ditempelkan kekulit. Kedua penggunaan penghambat PDE 5. Cara ini adalah pengobatan yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan (contoh saja vardenafil, sildenafil). Ketiga, terapi dengan bantuan alat.
Jika cara diatas tidak begitu memuaskan, cara – cara berikut dapat menolong:
a.       Terapi self injection: menyuntikkan sendiri ke penis, obat yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah.
b.      Terapi trans uretra: dengan bantuan aplikator, sebuah pil kecil dan lunak dimasukkan kedalam uretra (lubang diujung penis). Obat dalam pil kecil tersebut akan menyebabkan relaksasi pembuluh darah penis sehingga jaringan penis akan terisi penuh dengan darah dan terjadilah ereksi.
c.       Alat ereksi vakum: tabung plastik yang dilengkapi alat pompa (untuk memompa udara keluar dari tabung )dan pita plastik (untuk mempertahankan ereksi setelah tabung dilepaskan).
d.      Implant penis: implant semirigid dan dapat mengembang yang dimasukan kedalam penis melalui pembedahan.
D.    Jenis Gagal Ginjal
Pertanyaan Utama pada Gagal Ginjal:
a.       Apakah terdapat komplikasi yang mengancam nyawa yang memerlukan pengobatan segera?
b.      Apakah ginjal bersifat akut atau kronik?
c.       Jika akut, apakah termasuk tipe prerenal, renal atau pasca renal?
Jika prerenal atau pascarenal atasi penyebabnya!
d.      Jika termasuk tipe renal, apa diagnosisnya?
Tabel 2.1 pertanyaan umum pada gagal ginjal(5)


1.      Gagal Ginjal Akut
Penyebab ARF tipe Renal
Diagnosis
Gambaran Klinis
Pemeriksaan Penunjang
a.       Rabdomiolisis
b.      Glomerulonefritis
1)      Penyakit Goodpasture
2)      Vaskulitis
3)      LES
c.       Nefritis Interstisial
d.      Sindrom Hemolitik Uremik
e.       Nekrosis Tubular Akut
Nyeri otot

Perdarahan paru
± gambaran sistemik, sinusitis, ruam.

Tanda neurologis/sendi, ruam
Akibat obat
Diare
Baerbagai faktor terutama dirumah sakit
CK meningkat, mioglobinuria
Silinder sel darah merah
Antibodi anti – GBM meningkat
ANCA meningkat (anti- neutrophil cytoplasmic antibodies)
Anti dsDNA meningkat, antibodi nuklear
Eosinofil meningkat (darah dan urin)
Hb menurun, hemolisi
Silinder tubular granular
Tabel 2.2 penyebab ARF tipe renal(5)


Gagal ginjal akut timbul jika terjadi penurunan akut laju filtrasi glomerulus (LFG) dan zat yang biasanya diekskresi oleh ginjal terakumulasi dalam darah. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang tidak adekuat (prarenal), penyakit ginjal intrinsik (renal), dan obstruksi saluran kemih (pascarenal). Keadaan prerenal mencakup 50 – 60% kasus, pascarenal 15% kasus, dan renal sekitar 20 – 35% sisanya. Pada negara berkembang, komplikasi obstetrik infeksi seperti malaria merupakan penyebab yang penting. Angka mortalitas keseluruhan sekitar 30 – 70%, tergantung usia dan adanya gagal organ atau penyakit lain. Dari pasien yang bertahan, 60% memiliki fungsi ginjal normal, namun 15 – 30% memiliki gangguan ginjal dan sekitar 5 – 10% mengalami penyakit ginjal stadium akhir(2).
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL(≥ 26.4 µmol/L), persentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1.5 kali kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat ≤ 0.5 mg/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam)(5). Sebagian besar gagal ginjal akut (ARF) timbul di rumah sakit akibat deplesi volume, sepsis, atau toksisitas obat, terutama setelah pembedahan, trauma, atau luka bakar(2).
Kriteria diatas memasukkan baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks massa tubuh, dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab – sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan ARF dapat(5):
a.       Sembuh sempurna
b.      Penurunan faal gnjal sesuai dengan tahap – tahap GGK (CKD tahap 1 – 4)
c.       Ekserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK/ CKD tahap 1 – 4
d.      Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)
Kenaikan Kreatini Serum (mg/dL)
Multivariabel OR (95% CL)
Area under ROC curve
0.3
4.1 (3.1 – 5.5)
0.84
0.5
6.5 (5.0 – 8.5)
0.86
1.0
9.7 ( 7.1 – 13.2)
0.84
2.0
16.4 (10.3 – 26)
0.83
Tabel 2.3 nilai kreatinin serum(5)
Kategori RIFLE
Kriteria Kreatinin Serum
Kriteria UO
(A) The acute dialysis quality intiative (ADQ) criteria for the definition and classification of AKI (i.e RIFLE criteria)
Risk
Kenaikan kreatinin serum ≥ 1.5 x nilai dasaratau penurunan GFR ≥ 25%
< 0.5 mL/kg/jam            for ≥ 6/jam
Injury
Kenaikan kreatinin serum ≥ 2.0 x 5 x nilai dasar atau penurunan GFR ≥50%
< 0.5 mL/kg/jam atau ≥12 /jam
Failure
Kenaikan kreatinin serum ≥ 3.0 x 5x nilai dasar atau penurunan GFR ≥ 75% or an
Nilai absolut kreatinin serum ≥ 4mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg
< 0.3 mL/kg/jam ≥ 24jam



Anuria ≥ 12 jam
AKIN criteria
Kriteria kreatinin serum
Kriteria UO
Tabel 2.4 klasifikasi RIFLE(5)


Tahap
Kriteria kreatinin serum
Kriteria produksi urin
1
Kenaikan kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL(26.4 µmol/L) atau kenaikan ≥ 150 to 200% (1.5 – 2 kali lipat) dari nilai dasar
Kurang dari 0.5 mg/kg perjam lebih dari 6 jam
2
Kenaikan kreatinin serum > 200 – 300% (>2 – 3 kali lipat dari nilai dasar)
Kurang dari 0.5 ml/kg/jam ≥ 12 jam
3
Kenaikan kreatinin serum >300% (>3 kali lipat dari nilai dasar) atau serum kreatinin ≥ to 4.0 mg/dL (≥345 µmol/L) with an acute increase of at least 0.5 mg/dL (44µmol/L)
Kurang dari 0.3 mL/kg/jam ≥24 jam atau anuria 12 jam
Tabel 2.5 klasifikasi AKIN(5)
Etiologi
Sedimen
FENA+  Fe - Urea
Proteinuria
Prerenal
Torak hialin
<1
<35
Tidak ada atau samar
Iskemia
Sel epitel, muddy brown cats, pigmented granular casts
<2
<50
Samar – ringan
Nefritis Interestisial Akut
Leukosit (WBC), torak leukosit, eosinofil, eritrosit (RBC), sel epitel
>1
Ringan – sedang
GN akut
Dysmorphic RBCs, RBC cast
<1 early
Sedang – baik
Postrenal
Beberapa torak hialin, eritrosit
<1 early
>1 late
Tidak ada atau samar
Lysis Tumor
Kristal asam urat

Tidak ada atau samar
Arterial/ venus trombosis
Eritrosit

Ringan – sedang
Ethylene glycol
Kristal kalsium oksalat

Samar - sedang

Tabel 2.6 temuan klainan urin pada ARF(2)
Prosedur
Informasi yang dicari
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Tanda – tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. Indikasi beratnya gangguan metabolik. Perkiraan status volume (hidrasi)
Mikroskopik urin
Pertanda inflamasi glomerulus atau tubulus. Infeksi saluran kemih atau uropati kristal
Pemeriksaan biokimia darah
Mengukur pengurangan laju filtrasi glomerulus dan gangguan metabolik yang diakibatkannya
Pemeriksaan biokimia urin
Membedakan gangguan ginjal pre renal dan renal
Darah perifer lengkap
Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis, dan kekurangan trombosit akibat pemakaian
USG ginjal
Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang abnormal
Bila diperlukan:
CT scan Abdomen
Mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan traktus urinarus
Pemindaian radionuklir
Mengetahui perfusi ginjal yang abnormal
Pielogram
Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus urinarius
Biopsi ginjal
Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi penyakit ginjal
Tabel 2.7 evaluasi pada pasien ARF(5)


Kerusakan Vaskular
Kerusakan Tubular
Vasokontriksi renal
Kerusakan reperfusi
Obstruksi tubular
Regenerensi tubular
Dopamin dosis rendah
Anti ICAM – 1 mAb
Furosemid
Faktor pertumbuhan epidermal dan hepatosit
Reseptor antagonis endotelin
Anti – CD18 mAb
Manitol
Faktor pertumbuhan hepatosit insulin – like growth factor
Peptide natriuretik natrial
Pengikat radikal bebas
Dopamin dosis rendah

Antagonis kalsium
Penghambat protease α- MSH


Antagonis reseptor leukotrien
Membran bikompatibel


Tabel 2.8 strategi untuk mencegah atau memperbaiki nekrosis tubular akut(5)

-          Cari dan perbaiki faktor pre dan pascarenal
-          Evaluasi obat – obatan yang telah diberikan
-          Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
-          Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin
-          Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari
-          Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfotemia, edema paru)
-          Asupan nutrisi adekuat sejak dini
-          Cari fokus infeksi secara agresif
-          Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis)
-          Segera melmulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi
-          Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersiahn ginjal
Tabel 2.9 prioritas tatalaksana pasien dengan ARF(5)


a.       Anamnesis
Anamnesis dapat mengindikasikan gangguan ginjal yang sudah terjadi sebelumnya, hipertensi, atau diabetes mellitus, yang semuanya merupakan predisposisi iskemia ginjal. Hematuria yang jelas terlihat (frank hematuria) yang diikuti oleh oliguria mengarah pada glomerulonefritisdan hemoptisis mengarah pada sindrom Goodpasture. Riwayat infeksi kulit atau tenggorok sebelumnya mengarah pada glomerulonefritis pasca infeksi. Pada pria, keluhan berkemih seperti frekuensi, nokturia, dan pancaran yang buruk dengan hesistansi serta urin menetes mengarah pada obstruksi pasca renal akibat penyakit prostat. Nyeri dan pembengkakan otot setelah latihan fisik mengarah pada rabdomiolisis. Gastroenteritis dapat mengindikasikan sindrom hemolitik uremik yang terkait Escherichia coli. Riwayat penyakit sebelumnya dapat menunjukkan penyakit meultisistem yang mendasari yang berkaitan dengan glomerulonefritis, penyakit vaskular (berkaitan dengan stenosis arteri renalis), keganasan (berkaitan dengan hiperkalsemia), infeksi kronis seperti osteomielitis atau abnormalitas katup jantung yang rentan terhadap endokarditis. Riwayat penggunaan obat seharusnya mencakup kemungkinan meracuni diri sendiri dan penggunaan analgesik(2).

b.      Pemeriksaan Fisik
Nilailah status volume cairan pasien. Carilah tanda penyakit multisistem, emboli kolesterol, dan penggunaan obat intravena. Pembengkakan atau nyeri otot mengarah pada rabdomiolisis. Pada mata dapat ditemukan perubahan hipertensif, diabetik, atau perubahan diagnostik lainnya. Periksalah ulkus dekubitus, luka operasi, dan traumatik untuk sepsis. Nadi, tekanan darah (jika perlu dalam keadaan berbaring atau berdiri), tekanan vena jugularis, dan pemeriksaan jantung dapat mengindikasikan deplesi volume, lesi jantung, atau perikarditis. Periksalah dada untuk menemukan edema paru dan bukti infeksi atau perdarahan. Penyakit saluran pernapasan atas atau sinusitis mengarah pada penyakit Wegener. Ginjal polisiklik dapat teraba dan kandung kemih yang teraba besar dapat mengarah pada obstruksi. Pemeriksaan ginjal dapat menunjukkan penyakit prostat atau pelvis(2).
c.       Tata Laksana
Penyebab prarenal atau pascarenal harus dikoreksi segera. Penyakit ginjal intrinsik diobati berdasarkan tipenya. Tanpa mempertimbangkan etiologinya, pemeriksaan dasar tertentu dilakukan secara rutin(2).
1)      Elektrolit
Elektolit plasma seharusnya diperiksa setiap hari. Asupan kalium seharusnya dibatasi, diuretik dan terapi penggantian ginjal digunakan untuk mencegah hiperkalemia(2).
2)      Asam
Asam menghambat proses metabolik. Asidosis berat dengan fungsi ginjal yang tidak adekuat harus diobati dengan terapi pengganti ginjal(2).
3)      Volume
Nilailah status volume cairan tubuh secara teratur. Bila perlu, ikurlah tekanan vena sentral dengan keteter vena jugularis interna atau subklavia. Pantaulah asupan dan pengeluaran cairan. Kateterisasi urin memberikan jumlah urin yang akurat, namun terdapat resiko infeksi. Kehilangan cairan tak terlihat harian (daily insensible loss) bervariasi dengan jumlah minimum 500mL dan sekitar 500mL ekstra untuk setiap 0C pada kondisi demam. Menimbang pasien setiap hari dapat menjadi panduan dalam penggantian cairan. Penggantian cairan seharusnya disesuaikan dengan kehilangan cairan yang tidak terlihat dan yang diketahui(2).
4)      Edema Paru
Pasien seharusnya duduk dan diberi oksigen. Diuretik diberikan jika masih ada fungsi ginjal yang tersisa. Jika tidak, terapi penggantian ginjal harus dilakukan segera. Selama menunggu, pemberian nitrat dan opiat dapat memberikan efek vasodilatasi. Bila perlu, lakukan vena seksi 200 – 500 mL darah dan berikan ventilasi dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi (possitive end- expiratory pressure)(2).
5)      Penguluran Umum
Koreksilah hipoksemia dengan oksigen, dan bila perlu, ventilasi. Curah jantung seharusnya dipertahankan denagn obat inotropik. Hemoglobin seharusnya dipertahankan diatas 10g/dL untuk mempertahnkan oksigenasi jaringan. Pasien sering berada dengan keadaan hiperkatabolik dan harus diberi makan secara nasogatri atau parenteral jika pasien tidak bisa makan. Hipertensi seharusnya dikendalikan dengan mengatur keseimbangan cairan dan pemberian antihipertensi bila perlu(2).
6)      Terapi penggantian Ginjal
Indikasi absolut terapi penggantian ginjal meliputi hiperkalemia, asidosis, edema paru, dan komplikasi uremia berat. Hemodialisis ditoleransi buruk oleh pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Hemofiltrasi kontinu, yang lebih lambat, ditoleransi dengan lebih baik(2).
Komplikasi
Pengobatan
Kelebihan volume intravaskular
Batas garamm (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari), furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis.
Hipobatremia
Batas asupan air (<1 L/hari): hindari infus larutan hipotonik
Hiperkalemia
Batasi diet K (<40 mmol/hari); hindari diuretik hemat K, potassium – binding ion exchange resins, glukosa (50 mL dekstrose 50%)dan insulin ( 10 unit), natrium bikarbonat (50 – 100 mmol) agonis β2 (salbutamol, 10 – 20 mdg di inhalasi atau 0.5 mg I.V), kalsium glukonat (10 mL larutan 10% dalam 2 – 5 menit)
Asidosis metabolik
Natium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH > 7.2)
Hiperfosfatemia
Batasi asupan diet fosfat (800mg/hari) obat pengikat fosfat ( kalsium asetat; kalsium karbonat)
Hipokalemia
Kalsium karbonat; kalsium glukonat (10 – 20 mL larutan 10%)
Nutrisi
Batasi asupan diet (0.8 – 1 g/kgBB/hari0 jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100gr/hari), nutrisi enternal atau parenteral jika perjalanan klinik lama tahu katabolik
Tabel 2.10 Pengobatan Suportif pada Gangguan Ginjal Akut(5)


2.      Gagal Ginjal Kronik
Semua proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif  dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Seiring dengan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, sefron yang tersisa melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi dan reabsorpsi zat terlarut. Sayangnya, hal ini justru merusak nefron yang tersisa dan mempercepat kehilangan nefron. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi jika pasien membutuhkan terapi penggantian ginjal dengan dialisis atau transplantasi(2).
Komplikasi gagal ginjal kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya dieksresi oleh ginjal, serta produksi vitamin D dan eritropoetin yang tidak adekuat oleh ginjal. Sindrom uremik mengacu pada komplikasi gagal ginjal kronik seperti anemia, kebingungan (confusion), koma, asteriksis, kejang, efusi perikardium, gatal, dan penyakit tulang. Terapi penggantian ginjal memperbaiki masalah – masalah ini, namun pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada populasi lainnya(2).
a.       Perbedaan Gagal Ginjal Akut dan Kronik
Baik gagal ginjal akut maupun kronik meningkatkan kalium, ureum, dan kreatinin plasma, serta menyebabkan asidosis metabolik. Pada gagal ginjal kronik, biasanya terdapat komplikasi kronik yang meliputi anemia, akibat eritropoetin yang tidak adekuat, serta penyakit tulang, biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat tinggi, dan hormon paratiroid tinggi. Yang khas, kadar kalium plasma rendah pada gagal ginjal kronik, kecuali jika terdapat hiperparatiroidisme tersier. Hasil temuan kunci pada gagal ginjal kronik adalah ginjal yang kecil pada ultrasonografi oleh atrofi atau fibrosis(2).
b.      Masalah Akut pada Gagal Ginjal Kronik
Masalah akut dapat terjadi baik pada gagal ginjal akut maupun kronik. Pengobatan segera dengan dialisis atau hemofltrasi diperlukan untuk hiperkalemia yang mengancam nyawa, asidosis berat, edema paru, dan gejala uremia. Perburukan tiba – tiba pada pasien dengan gangguan ginjal yang belum didialisis dapat dipicu oleh hipertensi berat, infeksi saluran kemih, atau obat nefrotoksik, obat anti inflamasi non steroid atau ACE inhibitor dapat menyebabkan perburukan ginjal dengan cara mempengaruhim aliran darah glomerulus(2).
c.       Kalsifikasi
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi(5).
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang hitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut(5):
LFG (ml/scnd/1.73m3 )=140-umurx Berat badan72 x kretinin plasma (mg/dL)  *)

*) pada perempuan dikalikan 0.85

Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mnt/1.73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
≥90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG    ringan
60 -89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG   sedang
30 – 59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG   berat
15 – 59
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Tabel 2.11 klasifikasi gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit(5)




Penyakit
Tipe Mayor
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan tipe 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerestisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyaakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Tabel 2. 12 kalsifikasi gagal ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi(5)

d.      Patofisiologi
Patofisiologi penyakit gagal ginjal pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, but dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nephron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factors, hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi, yan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nephron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nephron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresivitas tersebut.aktivasi jangka panjang aksis renin angiotensin aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF – β). Beberapa hal juga dianggapberperan dalam terjadinya progresivitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerestisial(5).
Pada stadium paling dini gagal ginjal kronik, kehinlangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nephron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asymtomatic), tetapi sudah tejadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah , gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, priritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain kalium dan natrium. Pada LFG dibawah 15% akan terjdi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan teraapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialysis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal(5).
e.       Etiologi
Etiologi penyakit gagal ginjal sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.13 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat(5).
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 200 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 2.14(5).
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis, lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab penyakit tidak diketahui(5).
Penyebab
Insiden
Diabetes Mellitus
Tipe 1 (7%)
Tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis Interestialis
4%
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik (seperti lupus dan vaskulitis
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%
Tabel 2. 13 Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (1995 – 1999)

Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46.39%
Diabetes Mellitus
18.65%
Obstruksi dan Infeksi
12.85%
Hipertensi
8.46%
Sebab lain
13.65%
Tabel 2.14 Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000

f.       Pendekatan Diagnostik(5)
1)      Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien gagal ginjal kronis meliputi:
a)      Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktur urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik(SLE), dan lain sebagainya.
b)      Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang – kejang, sampai koma.
c)      Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida)
2)      Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium ginjal meliputi:
a)      Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b)      Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c)      Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kar=dar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d)     Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituri, cast, dan isostenuria.
3)      Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit Gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
a)      Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b)      Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c)      Pielografi antegrad atau retrogad dilakukan sesuai dengan indikasi
d)     Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrisis atau batu ginjal, kista, kalsifikasi, massa. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
4)      Biopsi dan Pemeriksaan Hispatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan hispatologi dilakukan pada pasiendengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan hispatologi inii bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan padakeadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidneys), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.



g.      Komplikasi Klinis(2)
1)      Komplikasi hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoetin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoetin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bisa bekerja bila kadar besi dan folat dan B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoetin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
Walaupun waktu pembekuan darah normal, namun fungsi trombosit terganggu dan waktu perdarahan (waktu yang diperlukan suatu perdarahan akibat luka untuk berhenti) memanjang. Waktu perdarahan dapat membaik dengan dialisis yang efisisen, koreksi anemia dengan eritropoetin, dan pemberian estrogen terkonjugasi. Vasopresin sintetik (desmopresin atau DDAVP) meningkatkan kadar faktor non Willebrand dan memperpendek waktu perdarahan untuk sementara.
2)      Penyakit vaskular dan hipertensi
Penyakit vaskulaer merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada pasein yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor resiko yang paling penting. Sebagian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipovolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cikup parah untuk bisa menimbulkan edema, nemun mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respon terhadap retriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialisis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
Hipertensi yang tidak memberi repon terhadap pengurangan volume tubuh sering kali berkaitan dengan produksi renin yang berlebihan. Kelebihan aktivitas simpatis juga dapat berperan. Vasokonstriktor seperti endotelin hormon antidiuretik ( antidiuretik hormon atau vasopresin), norepineprine (noradrenalin), atau defisiensi vasodilator nitrat oksida dapat pula berperan dalam hipertensi jenis ini. Jika tekanan darah tidak bisa dikontrol dengan inhibitor ACE, blockker reseptor angiotensin, vasodilator atau β – blocker, maka nefroktomi kadang membantu. Namun demikian, stenosis arteri renalis seharusnya disingkirkan sebagai penyebab hipertensi, karena sering kali dapat diobati dengan angioplasti balon.
3)      Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat hilangnya nefron. Namun demikian, beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrasi.
4)      Integumen
Gatal merupakan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidisme sekunder atau tersier serta dapat disebabkan oleh deposit kalsium fosfat pada jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitasi kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentai kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5)      Gastrointestinal
Walapun kadang gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan polpulasi normal. Namun demikian, gejala mual muntah, anoreksia,  dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
6)      Endocrine
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertubuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7)      Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperfleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas natrium/kalium ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung pada hormon paratiroid pada transpor kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal.
Nuropati perifer dapat terjadi. Manifestasi yang khas adalah neuropati sensorimotorik distal, dengan kehilangan sensorik berpola glove and stocking, dan kelemahan serta kehilangan massa otot distal. Biasanya terjadi simetris namun dapat juga terjadi mononeuropati terisolasi serta mengenai saraf kranial. Neuropati autonomik juga dapat terjadi. Miopati dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin D, hipokalsemia, hipofosfatemia, dan kelebihan PTH. Gangguan tidur sering terjadi. Kaki yang tidak bisa diam (restless leg) atau kram otot juga dapat terjadai dan kadang merespons terhadap pemberian kunin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan resiko bunuh diri.
8)      Imunologis
Fungsi immunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagian besar sel imun dan dialisis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, denagn tidak tepat.
9)      Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinngi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal dari pada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 disepanjang membran peritoneal.
10)  Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialisis arteriovena yang besar dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.
h.      Penatalaksaan
Tata laksananya meliputi diet retriksi asupan kalium, fosfat, natrium, dan air untuk menghindari hiperkalemia, penyakit tulang, dan hipervolemia. Hipervolemia ringan dapat menyebabkan hipertensi, dan mengarah kepenyakit vaskular dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipervolemia berat dapat menyebabkan edema paru. Tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan balans cairan yang ketat seharusnya diobati dengan inhibitor ACE, blocker reseptor angiotensin, β – blocker, atau vasodilator. Anemia seharusnya diobati dengan eritropoetin, setelah dipastikan tidak ada perdarahan dari saluran pencernaan atau menstruasi berlebihan serta kadar besi, folat dan B12 adekuat. Penyakit tulang diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengkonsumsi senyawa pengikat fosfat bersama makanan, dan mengkonsumsi viatamin D dalam bentuk 1-hidroksi-vitamin D3 atau 1.25-dihidroksi- vitamin D3. Jika gangguan ginjal kronik bersifat berat, dialisis atau transplantasi ginjal biasanya diperlukan selain tatalaksana diatas. Kualitas hidup pasien yang menurun dapat diperbaiki dengan tatalaksana kmplikasi ginjal kronik, terutama anemia(2).
E.     Penanganan dan Pengobatan
1.      Hemodialisis
Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan kekompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeable buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi laruatan denagn komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat pelarut sama dikedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindahdari kompartemen darah kekompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan cairan ini disebut ultrafiltrasi(5).
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul yang lebih besar dakan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul yang lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila perbedaan konsentrasi dikedua kompartemen makin besar, diberi tekanan hidrolik dikompartemen darah, dan bila tekanan osmotik dikompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisisensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama dikedua kompartemen(5).
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu selulosa, selulosa yang diperkaya, sellulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi koplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantika oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa(5).
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0.8 m3 sampai 2.1 m3. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisiensi proses dialisis yang terjadi(5).
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120 -150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat denagn mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas – batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang memebahayakan tubuh. Dengan teknik reserve osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori – pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul keceil seperti urea, natrium dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200koloni/mL dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135 – 145 mEq/L. Bila kadar natrium rendah maka resiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selam hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan menigkatkan kadar natrium darah pasca dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditangggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam dialisat dibuat lebih tinggi(5).
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Segera setelah selesai prosedur hemodialisa, dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dialkukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipaki kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu dialiser disimpan denagn cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapt menimbulkan gangguan pada pasien(5).
Cairan dialisat terbuat dari konsituen esensial plasma – natrium, kalium, klorida, magnesium dan glukosa, dan suatu buffer seperti bikaronat, asetat, dan laktat. Darah dan dialisat mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Dengan demikian komposisi plasma dapat dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan kalium keluar dari darah(2). Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehinga dapat menimbulkan suasan asam didalam darah yang akan bermanifestasi dengan vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi(5). Bikarbonat merupakan basa yang dipilih, namun mengendap dengan kalsium atau magnesium dan harus dibuat sesaat sebelum dialisis. Hali ini terutama berguna pada pasien yang tidak stabil dan jika penyakit hati menggangu metabolisme laktat atau asetat. Laktat dan asetat dimetabolisme oleh hati mengahsilkan bikarbonat. Namun demikian, sampai hal tersebut terjadi, pengeluaran bikarbonat oleh dialisis menurunkan PCO2 dan keadaan ini dapat menghanbat ventilasi, sehingga berkontribusi dalam timbulnya hipoksemia. Asetat juag merupakan vasodilator dan dapat menyebabkan hipotensi(2).
Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat tmbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari – hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti denagn continous infusion. Pada keadaan dimana resiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal atau teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan resiko perdarahan berat miasanya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan(5). Pada pasien yang memmilik resiko perdarahan, protasiklin dapat digunakan untuk hal tersebut, walaupun dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi(2).
Hemodialisi idealnya membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi. Satu untuk mengeluarkan darah dan satu untuk mengembalikannya dari mesin dialisis. Untuk jangka pendek, hal ini dapat dicapai dengan kateter vena sentral berukuran besar berlumen ganda. Ini dapat dibuat seperti terowongan dikulit untuk mengurangi resiko infeksi. Untuk akses jangka panjang, biasanya dibuat dengan fistula arteriovena buatan pada lengan dengan menyatukan arteri radialis atau brakhialis denagn vena, dengan cara side- to- side atau side- to- end. Setelah bebrapa bulan, fistula berdilatasi dan aliran tinggi yang melewatinya memungkinkan dua jarum berukuran besar ditempatkan didalamnya untuk dialisis. Fistula dapat juga dibuat dengan menyatukan arteri dan vena dengan graft politetrafluoroetilen sintetik (Goretex). Kadang pirau (shunt) eksternal digunakan untuk menyatukan arteri dengan vena. Pada pasien ginjal, jalur intravena sebaiknya selalu dipasang ditangan bagian belakang, daripada di lengan, untuk mengurangi kerusakan vena lengan yang mungkin diperlukan dikemudian hari untuk pembentukan fistula(2). Jumlah tekanan darah yang mengalir kedialiser, harus memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat betahan bertahun – tahun dan komplisaninya hampir tidak ada(5).
Komplikasi akut dialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang seirng terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia(5).
Masalah yang paling sering berkaitan dengan akses dan termasuk trombosis fistula, pembentukan aneurisma, dan infeksi, terutama graft sintetik atau akses vena sentral sementara. Infeksi sistemik dapat timbul pada lokasi akses didapat dari sirkuit dialisis. Transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah (blood borne infection) seperti hepatitis virus dan HIV merupakan suatu bahaya potensial. Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang mengandung mikroglobulin – β2 dapat menyababkan sindrom terowongan kapal (carpal tunnel syndrome) dan artropati destruktif dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang mengandung alumunium dan kontaminasi alumunium dari cairan dialisat dapat menyebabkan toksisitas alumunium dengan dimensia, mioklonus, kejang, dan penyakit tulang. Keadaan tersebut membaik dengan pemberian deferoksamin (desferioksamin)(2).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dlam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasein hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 – 1.2 gr/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40 – 70 mEq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah – buahan dan umbi – umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40 -120 mEq/hari gunamengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebih maka selama periode diantara dialiss akan terjadi kenaikan berat badan yang besar(5).
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat kolerasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (KT/N). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila URR nya lebih dari 80%. Cara lain untuk menghitung adekuasi dengan menghitung KT/N. Terdapat rumus Dourgirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pasca dialisis, berat badan pra dan pasca dialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminnggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1.8(5).
Pada umunya indikasi dialisis pada GGK adalah laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5mL/menit) yang ada didalal T praktek dianggap demikian bila TKK <5mL/ menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:
1)      Keadaan umumnya buruk dan gejal klinis nyata
2)      K serum > 6 mEq/L
3)      Ureum darah >200mg/dL
4)      pH darah <7.1
5)      anuria berkepanjangan (>5hari)
6)      fluid overloaded

2.      Peritoneal Dialisis
a.       Pendahuluan
Pada dialisis peritoneal, cairan diinfuskan melalui selang kedalam rongga peritoneum. Air dan zat terlarut kemudian bergerak melewati membran peritoneal semipermeabel. Membran ini terdiri dari tiga lapisan yaitu mesotel, interestisium, dan diniding kapiler peritoneum. Air bergerak dari plasma ke larutan dialisat dengan kadar glukosa tinggi secara osmosis. Molekul lain seperti asam amino, dapat digunkan untuk menggantikan glukosa dalam cairan dialisis. Zat terlarut bergerak bersama air dan juga bergerak secara difusi kedalam cairan dialisis. Dialisis peritoneal lebih lambat dari pada hemodialisa, sehingga hipotensi, hipoksia, disritmia, dan disekuilibrium jarang terjadi. Dialisis peritoneal dapat membersihkan beberapa toksin uremik lebih baik dari pada hemodialisa dan berkaitan dengan kejadian penyakit tulang, anemia, dan hipertensi lebih jarang. Namun demikian, terdapat batas jumlah dialisis yang dapat dilakukan dan sebagian besar pasien tidak mendapatkan penggantian ginjal yang cukup dengan dialisis peritoneal(2).  
b.      Aspek Klinis Dialisis Peritoneal
Kateter soft silastic biasanya dimasukkan melalui terowongan pada kulit dan ditempatkan di rongga peritoneum sebagai akses permanen ke rongga peritoneum. Pada masa sebelumnya, kateter semi kaku digunakan untuk dialisis akut jangka pendek. Kantung – kantung cairan dialisat steril ditempelkan pada kateter peritoneal dan dialirkan kedalam rongga peritoneum oleh gravitasi. Kateter dijepit dengan kantong kosong melekat dan, ketika dialisis selesai, jepit keteter dilepaskan dan cairan dialirkan kedalam kantung olehgravitasi, kemudian kentung ini dilepas dan dibuanng. Teknik ini disebut continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) karena pasien dapat melakukan aktivitas harian normalnya dengan cairan didalam abdomen. Sekitar empat pertukarancairan digunakan setiap hari. Biasanya pasien menggunakan 2 L dialisat segar setiap 4 jam. Biasanya satu kantung kuat dengan kekuatan osmotik tinggi digunakan semalaman untuk mengeluarkan air. Dialisis Peritoneal Intermitten (IPD) merupakan metode yang lebih jarang digunakan. Mesin memompa cairan segar kedalam rongga peritoneum setiap 20 menit selama 12 sampai 48 jam. Beberapa pasien menggunakan sistem ini pada malam hari untuk menghindari pergantian kantung pada siang hari(2).
Dengan kedua metode tersebut, setiap fungsi ginjal yang tersisa berkontribusi secara signifikan terhadap efisiensi dialisis secara keseluruhan. Dialisis peritoneal harus dimulai dengan volume kecil dan hanya jika kateter terpasang dengan baik dan tidak terinfeksi. Dialisis peritoneal mungkin tidak dapat dilakukan jika operasi abdomen atau sepsis telah menyebabkan fibrosis, adhesi, atau hilangnya permukaan peritoneum yang cocok untuk dialisis(2).
c.       Prinsip Dasar Dialisi Peritoneal
Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai stylet kateter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk kedalam rongga peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 L cairan dialisis dimasukan kedalam kavum peritoneum melalui kateter tesebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah diperitoneum. Sisa – sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluar dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat yang baru(5).
d.      Cairan Dialisat
Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi, namun prinsipnya kurang lebih terlihat pada tabel 2.15. pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia, dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3.5 – 4.5 mEq/L cairan dialisat(5).
Elektrolit
mEq/L

Tekanan Osmotik (mOsm/L)
Na2+
140.0
140.0
Ca2+
4.0
2.0
Mg2+
1.5
0.8
Cl-
102.0
102.0
Laktat-
43.5
83.3
Glukosa

15.0 gr/L


291.0 mEq/L
371.6 mOsm/L
Tabel 2.15 Susunan elektrolit cairan dialisat
Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung 5.650 gram NaCl, 0.294 gram CaCl2, 0.153 gram MgCl2, 4.880 gram NaLaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2.4;3.5; dan 4.25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat menggangu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500 – 1000 U tiap 2 L cairan(5).
e.       Indikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal
Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien(5):
1)      Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2)      Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam atau basa.
3)      Intoksikasi obat atau bahan lain
4)      Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
5)      Keadaan klinis lain dimana PD telah terbukti manfaatnya
f.       Kontraindikasi Dialisis Peritoneal
1)      Kontra indikasi absolut : tidak ada(5)
2)      Kontra indikasi relatif: keadaan – keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disetai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang seirng digunakan untuk menilai efisiensi PD adalah dengan menentukan Peritoneal clearance (klirefis peritoneal) dengan rumus(5):
Cp =U x VP
CP         : peritoneal clearance
U            : konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar dari kavum   peritoneum (mg%)
P            : kosentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%)
V            : volume cairan dialisat tiap menit (mL)

Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat permeabilitas peritoneum, dan aliran dara dalam kapiler pperitoneum(5).
g.      Komplikasi Dialisis Peritoneal(5)
1)      Komplikasi Mekanis
a)      Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing atau hati)
b)      Perdarahan yang kadang – kadang dapat menyubat kateter
c)      Gangguan drainase (aliran cairan dialisat)
d)     Bocornya cairan dialisat
e)      Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut
2)      Komplikasi Metabolik(5)
a)      Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
b)      Gangguan metabolisme karbohidrat perlu dipertahikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia yang tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis
c)      Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat
d)     Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gelaja – gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, dimana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering pada pasien denga overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koneksi/penurunan ureum dalam otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain, teori hipoglikemia, perubahan pCO2 dan pH. Pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan K/Ca serum(5).
3)      Komplikasi Radang
a)      Infeksi alat pernapasan, biasanya berupa pnemonia atau bronkhitis purulenta
b)      Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal diluar peritoneum seperti pnemonia atau pielonefritis
c)      peritonitis
h.      Indikasi DP Pada Gagal Ginjal Akut
Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar(5):
1)      DP pencegahan: DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan
2)      DP dilakukan atas indikasi:
a)      Indikasi klinis: keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata
b)      Indikasi biokimiawi: ureum darah >200 mg%, kalium <6mEq/L, HCO3 <10 – 15 mEq/L, pH < 7.1
i.        Perbedaan PD dan HD Pada Pasien GGK
Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau Hd tergantung keadaan atau kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini rumah sakit yang cukup besar biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedangkan yang lain lebih baik bila dilakukan HD. Stewart dkk (1996) menemukan bahwa dari kasus – kasus GGA, 20 % lebih baik bila dilakukan DP , 20%  lebih baik bila dilakukan HD, dan 60% sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD(5).
DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan setiap rumah sakit tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan sebelumnyadan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk dialisis. Persoalan waktu ini kadang – kadang sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia berat DP merupakan dialisis pilihan dalam keadaan – keadaan berikut(5):
1)      Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi
2)      Pasien dengan perubahan volume darah tiba – tiba yang tidak diinginkan (hemodinamik tidak stabil)
3)      Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre shock
4)      Bayi, anak kecil, dan pada usia lanjut yang secara teknis HD sulit dilakukan
5)      Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat
6)      Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan
7)      Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak
j.        Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis krpnik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD adan DP. DP dapat berupa(5):
1)      Intermitten peritoneal dialisis (IPD). IPD dilakukan 3 -4 kali per minggu dan tiap kali dialisis selama 8 -14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh dibawah HD.
2)      Continous clclic peritoneal dialisis (CCPD). CCPD dilakuak tiap hari dan dilakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3 – 4 kali. Cairan dialissi terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12 – 14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritoneum 21/2 – 3 jam.
3)      Continous ambulatory peritoneal dialisis (CAPD). CAPD dilakukan 3 – 4 kali perhari, 7 hari perminggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum (dwell time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell time pada waktu siang 4 – 6 jam, sedangkan pada waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan berat molekul antara 1000 – 5000 Dalton (middle molecule) 4 – 8 x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksik uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik. Namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau IPD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilhan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang diabetes mellitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien. Kesederhanaan, keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik  CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian adalah komplikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis dapat ditekan sekecil mungkin(5).
k.      Prosedur CAPD dan Dialisat
1)      Prosedur
CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila dilakukan 24 jam perhari dan 7 hari perminggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan waktu rata – rata 4 kali pergantian perhari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan syarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureumdalam darah dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2000 mL dapat dicapai dengan 2 kali per gantian dengan cairan dialisat 4.25%. bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik(5).
2)      Dialisat
Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terddiri atas tiga macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1.5%, 2.5%, dan 4.25%dalam kantong plastik 2 L. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolaritas lebih tinggi dai plasma (osmolaritas plasma 290mOsm/L) dan ditambah laktat. Bila pasien normokalemia atau hipokalemia, perlu penambahan 1 KCL samapi konsentrasi 4 mEq/L untuk mencegah hipokalemia berat(5).
Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1000 – 2000 USP units per liter cairan dialisat(5).

l.        Kontra Indikasi
Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigi (seridemia familial), hernia pada dinding abdomen (perlu perbaikan dulu), dan pasien yang tidak bisa diajak bekerjasama. Hati – hati melakukan CPAD bila ada perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar dll(5).
m.    Hasil Pengendalian CAPD(5)
1)      BUN dan kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2 – 5 cc/menit dengan CAPD selama 2 – 3 minggu, BUN 50 + % mg% dan kreatinin plasma <12mg%. CAPD mempertahankan kedua paremeter tersebut lebih rendah dari IPD.
2)      Air dan elektrolit bikarbonat
Air dan natrium. Ultrafiltrasi sebanyak 2 L per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian dengan dekstrosa 1.5% dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4.25%. setiap hari dapat dikeluarkaan 3 – 4 gram natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak membutuhkan pembatasan air dan garam.
Elektrolit. Elektrolit dengan cepat dapat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na= 138 : t 3 mEq/L; Cl = 100: t 5 mEq/L; K = 4.1: t 0.4 mEq/L dan HCO3 = 25: t 4 mEq/L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag.
Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEq/L) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan pemasukan kalium (50 -80 mEq/hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hali ini diduga karena kenaikan ekskresi kalium melaui tinja. Kalium menunjukan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat menurunnya hormaon paratiroid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat fosfat dalm dosis kecil. Bikarbonat dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq/L akan menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata – rata 18 mEq/L menjadi 22.23 mEq/L.
Konsentrasi Dekstrosa
Osmolaritas (mOsM/L)
pH
Na
Ca
Mg
Cl
Laktat
1.5%
347
5.5
132
3.5
1.5
102
35
2.55
398
5.5
132
3.5
1.5
102
35
4.25%
486
5.5
132
3.5
1.5
102
35
Tabel 2. 16 susunan cairan dialisat (travenol)
  .
3)      Hemoglobin dan hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan kesepuluh dan akhirnya diikuti penurunan dan pad umumnya stabil pada kadar 8 g/dL. Ini disebabkan kemungkinan karena pengambilan bahan toksik metabolik sehingga memungkinkan sumsum tulang belakang bereakssi terhadap kenaikan eritropoetin yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyababkan kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik pacuan pada sitem erotropoetin menurun dan bila perbandingan antara eritropoetin dan zat toksik kembali ke nilai semula, Hb dan Ht akan kembali menurun.
4)      Protein dalam plasma dan hilangnya protein . serum protein pada umumnya stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata – rata 3.5 ± 0.8 mg%. Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui mebran peritoneum selama CAPD dan 75% dari protein yang hilang adalh albumin. Disamping protein ( 5 – 15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2 – 3 gr/hari. Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya.
5)      Glikosa darah. Glukosa darah yang masuk kedalam plasma selama CAPD antara 150 – 200 gr lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya tidak menyebabkan hiperglikemia. Banyaknya glukosa yang masuk dalam darh ini sering dikaitkan dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol dan trigliserida dalam darah. Pada penyandang DM kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal dan subkutan.
6)      Kolesterol dan trigliserida pada pasien CAPD menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut dan diduga dengan penyerapan glukosa kedalam plasma. Dianjurkan sedapat mungkin tidak menggunakan caairan dialisat hipertonik
7)      Tekanan darah. Pengendalian edema akan berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan ini terjadi bila digunkan cairan dialisat hipertonik.
n.      Efek Psikososial Pasien Dengan CAPD
Keuntungan yang paling utama pasien GGk stadium akhir dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih daripada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang relatif murah merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien(5).
Rehabilitasi pasien dengan CAPD ternyata sama saja dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisis kearah perbaikan antara lain menstruasi dapat teratur, nafsu seks kembali, gatal – gatal menghilang, tumbuhnya rambut diketiak dan dada, perubahan warna dan kekeringan dikulit dan lain sebagainya. Pada pasien dengan umur dibawah 50 tahun, CAPD tidak menggangu dan mengurangi kepuasan hubungan kelamin sedangkan diatas umur 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks mungkin karena penyakit kroniknya(5).
o.      Diet Pasien Dengan CAPD
Tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan terhadap diet pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan pentinya hubungan antara intake dan output, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk menghindari balans. Nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan protein tinggi (minimal 1.2gr/KgBB/hari) dan energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD disebabkan karena hilangnya protein (6 – 8 gr/hari), peritonitis, penurunan asupan protein dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD berlangsung 1 tahun dan adanya pacuan kronik terhadap katabolisme protein(5).
p.      Komplikasi
Komplikasi CAPD dapat kita bagi menjadi(5):
1)      Komplikasi teknis
Pada umumnya bukan merupakan komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya cairan dialisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat, kesalahan letak kateter dan lain sebagainya.
2)      Komplikasi medis
Pada umumnya dapat diatasi dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan gastrointerestisial (mual, muntah, hilangnya nafsu makan dll), sakit sendi dan sakit tulang punggung, kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuk kateter, perasaan sakit diabdomen dan peritonitis.
Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat ini dibeberapa pusat ginjal angka kejadian peritonitis menurun sampai serendah 1 episode every 4 patiens years dan penurunan ini terutama karena lebih baiknya seleksi dan latihan pasien serta kemajuan teknoligi seperti connector, in line filters, dan y tubing. Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta sakit abdomen. Disamping itu didapat pula disertai mual, muntah, panas, menggigil, maupun diare. Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding perut, kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab kuman paling tersering adalah Staphylococus aureus dan epidermitis (40 – 60%) yang merupakan gram positif, 20 – 40% disebabkan gram negatif dan sisanya karena fungi dan aseptik. Bila ada gejala – gejala peritonitis segera dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementara menunggu hasil laboratorium dapat diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif) dan tobramisisn (untuk gram negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang diberikan intraperitoneal (mg/L cairan dialisat) adalah metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200), sefoksitin (100), Vankomisin (20), kanamisin (20), gentamisin (10), tobramisin (10) amikasin (20), klindamisin (20), kloramfenikol (20), amfoterisin (1 – 20). 
3.      Hemofiltrasi Kontinu
Dengan hemofiltrasi kontinu, darah vena dipompa dengan tekanan tinggi ke membran yang sangat permeabel untuk memproduksi sejumlah besar ultrafiltrat, analog denagn filtrasi glomerulus. Filtrat lalu dibuang dan digantikan dengan larutan elektrolit yang seimbang dalam jumlah yang sesuai, yang ditambahkan lagi kedarah. Larutan ini mengandung natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan buffer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat/ keuntungan utama teknik ini dibandingkan dialisis adalah teknik ini berlangsung lambat dan kontinu, sehingga menghindarkan dari perubahan zat terlarut yang cepat selama dialisis. Untuk alasan tersebut, teknik ini cocock untuk pasien sakit berat atau tidak stabil secara hemodinamik dengan gagal ginjal akut atau penyakit ginjal stadium akhir. Hemofiltrasi mudah dilakukan melalui kateter vena sentral lumen ganda. Seperti pada hemodialisis, darah diberi antikoagulan heparin atau prostasiklin. Hemofiltrasi arteriovena kontinu merupakan metode lebih tua yang menggunakan tekanan darah arteri pasien sebagai gaya gerak filtrasi(2).
a.       Prosedur khusus yang berkaitan
1)      Pertukaran Plasma
Pertukaran plasma mengeluarkan antibodi dan molekul imunologis aktif berukuran besar lainnya untuk mengobati penyakit yang dimediasi imun. Membran yang sangat permeabel digunakan untuk memfiltrasi plasma dari sel darah dan seperti pada hemofiltrasi, filtrat dibuang dan diganti dengan larutan baru. Cairan pengganti harus mengandung elektrolit pengganti dan dapat juga mengandung protein seperti albumin atau faktor pembekuan. Faktor pembekuan dikeluarkan pada proses ini dan fresh frozen plasma biasanya diberikan untuk memisahkan plasma dari sel darah dalam proses yang disebut aferesis sentrifugal(2).
2)      Hemoperfusi
Hemoperfusi digunakan untuk mengeluarkan racun dari darah. Pada hemoperfusi, darah dipompa melalui suatu wadah yang mengandung karbon aktif yang dilapisi zat biokompatibel; darah dimasukkan kembali ke pasien. Karbon mengikat sebagian besar obat dan racun, namun polimer dan resin yang lebih baru sedang dikembangkan untuk dapat mengikat zat spesifik. Kolom yang mengandung antigen spesifik dapat digunakan untuk mengikat dan mengeluarkan antibodi spesifik terhadap antigen. Imunoabsorpsi telah digunakan sebelum transplantasi untuk mengeluarkan antibodi dari pasien yang telah memiliki antibodi terhadap molekul donor(2).

4.      Transplantasi Ginjal(2)
Ginjal dapat berasal dari donor hidup yang memiliki hubungan kekerabatan atau donor yang mati otak atau donor yang baru meninggal. Organ ini diimplan di fossa iliaka kanan atau kiri. Arteri renalis dijahit ke arteri iliaka eksterna atau interna dan vena renalis ke vena iliaka eksterna, dan ureter ditanam pada dinding kandung kemih. Sistem imun menyerang benda asing, termasuk transplan. Manusia memiliki banyak gen polimorfik yang berbeda pada orang yang berbeda, dan mengenali transplan sebagai benda asing. Untuk menghindari serangan antibodi, segera donor dan resipien harus memiliki golongan darah yang kompatibel.
Human Leukocyte Antigen (HLA) merupakan protein yang sangat polimorfik. Ketidak cocokan HLA antara organ transplan dan resipien, terutama molekul HLA – A, HLA – B, atau HLA – DR, meningkatkan resiko penolakan dan sebisa mungkin dihindari. Molekul HLA mengikat fragmen peptida dari antigrn protein pada suatu lekukan untuk dikenali oleh sel T. Peptida dari protein diri sendiri diikat dan dikenali sebaga diri sendiri oleh sel T. Selama infeksi, peptida dari patogen diikat, dan memicu serangan imun. Selam transplantasi yang tidak cocok, sel T melihat molekul HLA asing dan hal ini memicu serangan imun tanpa mempertimbangkan peptida yang terikat. Bahkan molekul HLA yang cocok dari suatu organ transplan pun dapat berikatan dengan peptida dari molekul polimorfik tidak cocok yang lain dan memicu serangan imun.
a.       Imunosupresi
1)      Steroid
Seperti prednisolon dan metilprednisolon berikatan dengan reseptor steroid, menghambat transkripsi gen dan fungsi imunologis pada sel T, makrofag, dan neutrofil. Efek sampingnya meliputi infeksi, ulkus peptikum, osteoporosis, hipertensi, hiperglikemia, obesitas, perubahan mood, penyembuhan luka yang buruk, katarak, dan supresi produksi glukokortikoid adrenal.
2)      Siklosporin
Membentuk kompleks dengan siklofilin, yang menghambat kalsineurin. Kalsineurin normalnya menyebabkan defosforilasi pada faktor transkripsi NF – AT, memungkinkan masuk nukleus dan memacu ekspresi sitokin, terutama interleukin – 2 (IL – 2). Karena itu, siklosporin menghambat sintesis IL -2 dan aktivasi sel T. Efek sampingnya meliputi nefrotoksisitas, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipertensi, hepatotoksisitas, hiperplasia gusi, dan hirsutisme. Nefrotoksisitas kronik disebabkan oleh iskemia glomerulus dan fibrosis interstisial. Kadar siklosforin plasma harus dipantau. Obat yang dapat menginduksi aktivitas sitokrom P450 hepatik menurunkan kadar obat ini.
3)      Azatioprin
Dimetabolisme menjadi 6 – merkaptopurin, yang menghambat metabolisme purin, dan dengan demikian menghambat sintesis asam nukleat dan poliferasi sel, terutama pada limfosit dan neutrofil. Efek sampingnya meliputi infeksi, pankreatitis, dan depresi sumsum tulang dengan neutropenia dan terkadang anemia megalobastik serta trombositopenia. Alopurinol dapat menyebabkan kadar 6 – metakaptopurin toksisk dengan cara menghambat xantin oksidase, enzim yang mendegradasi zat tersebut.
4)      Mikofenolat
Menghambat inosin monofosfat dehidrogenase. Suatu enzim yang dibutuhkan untuk sintesis asam nukleat. Mirip dengan azitioprin, mikofenoleat mengahambat fungsi sel B dan sel T. Efek sampingnya meliputi esofagitis, gastritis, dan diare, namun bukan supresi sumsum tulang belakang.
5)      Takrolimus
Berikatan dengan imunofilin FKBP untuk membentuk kompleks yang mengahambat kasineurin dan dengan demikian memiliki efek yang mirip denagn sikosporin dan juga menyebabkan nefrotoksisitas dan hipertensi.
6)      Sirolimus (rapamisin)
Juga berikatan dengan FKBP untuk mengahmbat mTOR, suatu fosfo – inositol – 3 kinase. Hali ini mengeblok translasi protein, yang sinyalkan melalui reseptor IL -2 dan poliferasi sel T dan sel B melaliu siklus sel.
7)      Terapi Biologis
Antibodi poliklonal dari kuda atau kelinci terhadap sel darah putih manusia atau antibodi monoklonal terhadap molekul permukaan sel T seperti CD3, menyebabkan deplesi sel darah putih dan imunosupresi. Antibodi, seperti basiliksimab, mengeblok reseptor IL – 2 rantai α (CD25) pada sel T yang teraktivasi dan elatif tidak terkena deplesi. Protein rekombinan, seperti CD152 (CTLA4), yang berinteraksi dengan molekul regulator pada limfosit ternyata juaga memilki efek imunosupresif
8)      Strategi Transplantasi Dimasa Depan
Idealnya, imunosupresi hanya akan mneghambat respons imun terhadap organ transplan, dan tidak menggangu respon lainnya. Alternatifnya, toleransi terhadap organ dapat diinduksi sebelum transplantasi. Babi yang telah dimodifikasi secara genetik sedang dikembangkan agar menjadi kurang imunogenetik dibanding dengan jaringan babi normal.
b.      Komplikasi Transplantasi
1)      Komplikasi dini transplantasi
Fungsi ginjal buruk dapat mengindikasikan penolakan akut, toksisitas siklosporin, atau nekrosis tubular akut akibat iskemia sebelum ginjal direvaskularisasi. Biopsi pada organ yang ditransplantasi dapat membedakan kemungkinan – kemungkinan tersebut. Masalah prarenal dan pasca renal dapat juga timbul. Penolakan selular merupakan proses yang dimediasi oleh sel dan diobati dengan terapi medikamentosa atau terapi antibodi. Penolakan vaskular lebih bersifat agresif dan sering dimediasi antibodi. Biasanya terjadi kerusakan pembuluh darah dan pertukaran plasma digunakan untuk mengeluarkan antibodi. Infeksi sitomegalovirus (CMV) dapat menyebabkan demam, retinopati, heptitis, enteritis, pneumonitis, dan trombositopenia. Pengobatan dengan glasiklovir, foskarnet, atau sindovir. Penyakit limfoproliferatif pascatransplantasi merupakan penyakit menyerupai limfoma yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV). Penyakit ini dapat membri respon terhadap penghentian imunosupresi.
2)      Komplikais kronik transplantasi
Hilangnya fungsi ginjal yang disebabkan oleh mekanisme imun dan nonimun sebagai penolakan kronik. Faktor yang berkontribusi antara lain penolakan imunologis, nefrotoksisitas sefalosporin, hipertensi, dan penyakit rekuren (terutama pada glomeruloskelrosis fokal segmental, nefropati membranoproliferatif, dan nefropati IgA). Hipertensi dapat timbul akibat pengguna steroid, vasokontriksi yang diinduksi sefalosporin, sekresi renin oleh ginjal asli, atau stenosis arteri renalis pada organ yang ditransplantasi. Hiperlipidemia sering ditemukan tetapi steroid atau siklosporin. Steroid juga menyebabkan osteoporosis adan osteonekrosis generalisata pada kaput femoris. Kadar PTH tinggi dapat menyebabkan fosfaturia yang membutuhkan suplementasi fosfat dan terkadang menyebabkan hiperkalsemia. Kanker kulit merupakan komplikasi lanjut yang sering dan insidensinya meningkat dengan pajanan sinar matahari. 
F.     Pencegahan Gagal Ginjal
Lebih baik mencegah dari pda mengobati, kata – kata bijak ini sering kita dengar dalam hidup kita. Kiranya kata – kata itu memang tepat, penyakit ginjal dan beberapa penyakit lain memang bisa diobati namun alangkah baiknyakalu kita menjaga diri kita agar terhindar dari penyakit. Dengan pola dan gaya hidup yang tepa, maka kesehatan kita yaitu kesehatan organ – organ tubuh kita juga akan terjaga dengan baik. Berikut ini disajikan tips – tips untuk menjaga agar ginjal kita dapat terpelihara dengan baik(4).
1.      Pengaturan makanan dan minuman (diet)
Makanan dan minuman penting bagi setipa orang, namun tidak semua makanan dapat mendukung kesehatan kita. Misalnya, makanan yang mengandung kolesterol tentu tidak sehat bagi jantung kita. Bagi penderita gagal ginjal, perlu memperhatikan menu makanan yang dikonsumsinya. Penderita gangguan ginjal perlu diet ketat terhadap makanan tertentu. Hal ini dikarenakan saat ginjal mengalami gangguan atau kerusakan, zat – zat sisa metabolisme dan cairan yang berlebihan dan tidak diperlukan akan terganggu pembuangannya sehingga menumpuk didalam darah. Darah yang masih mengandung sisa hasil metabolisme ini akan mengalir lagi ke jantung dan hati kita, hal ini tentu sangat berbahaya bagi kesehatan fungsi jantung dan hati. Kerusakan ginjal biasanya menyebabkan gangguan fungsi jantung dan hati. Oleh karena itu, orang yang mengalami gangguan ginjal perlu membatasi dan mengatur jumlah dan jenis makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuh. Zat – zat sisa dan cairan yang lebih sedikit menumpuk dalam darah sehingga keluhan berkurang dan tubuh lebih nyaman.
Makanan yang perlu dipantang oleh PGK ialah makanan yang mengandung protein tinggi. Tubuh kita memang membutuhkan protein, tapi kebutuhan itu harus dalam jumlah yang cukup. Protein yang berguna antara lain untuk membangun tubuh dan memperbaiki jaringan (misalnya otot – otot) yang mengalami kerusakan. Metabolisme protein dalam tubuh menghasilkan zat sisa berupa urea, pada ginjal sehat hasil metabolisme protein ini akan disaring dan dibuang bersama air seni. Namun, pada ginjal yang mengalami gangguan ure tidak akan tersaring secara sempurna dan tertumpuk didalam darah, menimbulkan apa yang disebut peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN). Salah satu cara untuk mencegah penimbunan protein dalam darah adalah dengan mengurangi asupan protein.
Penderita PGK memang perlu mebatasi konsumsi protein, namun penderita PGK ini tetap membutuhkan protein untuk kelangsungan metabolisme tubuhnya. Secara umum, pengaturan asupan protein dilakukan berdasarkan kadar GFR penderita PGK yang bersangkutan, dengan mengikuti contoh sebagai berikut:
a.       Mengurangi asupan garam
Penderita gagal ginjal juga perlu membatasi konsumsi garam. Garam mengandung unsur natrium yang bersifat menahan air. Konsumsi garam menyebabkan tumpukan cairan didalam tubuh. Tumpukan cairan ini menyebabkan kerja jantung dan paru – paru bekrja dengan lebih keras. Pengurangan asupan garam akan mengurangi penumpukan cairan dalam tubuh. Selain itu, pengurangan garam juga mengurangi rasa haus, rasa haus berkurang sehingga otomatis tidak terlalu banyak minum air. Beriku adalah tips mengurangi asupan garam:
1)      Cek label makanan disupermaket jika akan membeli makanan. Pilih makanan yang tidak terlalu banyak mengandung natrium atau sodium (sebaiknya kurang dari 400mg natrium persaji).
2)      Banyak mengkonsumsi makanan yang segar dari alam seperti sayur atau buah. Hindari makanan kaleng atau makanan instan.
3)      Kurangi garam dalam makanan yang akan dikomsumsi. Gunakan bumbu seperti bawang, jeruk nipis, kayu manis, dan lainnya sebagainya untuk memberi rasa masakan agar tidak terlalu tawar.
4)      Jika mengguanakan pengganti garam, pilihlah yang tidak mengandung kalium.
b.      Mengurangi asupan air/cairan
Ginjal pada kondisi normal berfungsi mengatur cairan dalam tubuh, termasuk jumlah cairan yang dibuang melalui air kencing. Pada saat ginjal mengalami gangguan pengaturan ini juga akan terganggu. Karena itu, cairan yang masuk kedalam tubuh perlu diatur, dan jika perlu dikurangi (sesuai anjuran dokter). Berikut ini adalah tips mengurangi asupan air/cairan:
1)      Agar mulut tepat basah isap – isap potongan jeruk lemon atau permen asam atau permen karet.
2)      Minumlah hanya jika benar – benar haus saja
3)      Kurangi makanan yang terlalu asin agar tidak mudah haus
4)      Jangan terlalu banyak mengkonsumsi biskuit atau kraker atau camilan yang terlalu asin
5)      Jika anda penderita diabetes. Anda juga perlu mengontrol kadar gula darah agar tidak terlalu tinggi. Kadar gula darah tinggi membuat anda akan lebih mudah haus
c.       Mengurangi asupan kalium
Penderita gangguan ginjal juga perlu mengurangi asupan kalium. Kalium adalah sejenis mineral yang dibutuhkan tubuh dan bisa kita peroleh dari makanan. Bahan makanan yang mengandung kalium seperti pisang, tomat, bayam, dan kacang. Seperti halnya garam natrium dan air, kalium juga diatur kadarnya dalam tubuh oleh ginjal. Karena itu, ginjal yang rusak dapat berakibat kadar kalium dalam darah meningkat, sehingga pembatasan kalium dari makanan mungkin diperlukan agar kadar kalium tidak berlebihan. Kadar kalium yang berlebihan dapat menimbulkan masalah seperti gangguan irama jantung yang bisa berakibat fatal. Berikut adalah tips mengurangi asupan kalium:
1)      Baca label makanan untuk mengetahui jumlah kalium yang terkandung, dan batasi konsumsi makanan yang mengandung kalium dalam jumlah tinggi (seperti bayam, tomat, kacang yang dikeringkan, kentang, tomat, pisang dan jeruk)
2)      Merebus makanan bertepung seperti kentang dengan air tawar yang banyak dapat mengurangi jumlah kalium yang terkandung didalamnya. Jangan lupa tiriskan dan buang air rebusan sebelum dihidangkan.
d.      Mengurangi asupan fosfat
Asam fosfat terkandung didalam susu dan produk olahan yang berasal dari susu.  Selain produk susu dan olahannya, kacang – kacangan kering, dan coklat, merupakan makanan yang mengandung fosfat dalam jumlah banyak. Konsumsi makanan tersebut dapat meningkatkan kadar fosfat dalam darah. Kelebihan fosfat karena ginjal tidak dapat membuang kelebihan dari zat ini berefek memperlemah tulang – tulang didalam tubuh. Bagi penderita gagal ginjal terkadang dokter meresepkan obat pengikat fosfat untuk membantu tubuh mengurangi kadar fosfat yang berlebihan. Obat ini sebaiknya dikonsumsi bersama makanan untuk mencegah diserapnya fosfat kedalam peredaran darah, sehingga kadar fosfat tidak menigkat.
Namun kebutuhan nutrisi dan asupan cairan setiap orang tidakalah selalu sama. Oleh karena itu, ada baiknya kalau penderita gagal ginjal selalu berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi untuk mengetahui pengaturan gizi yang tepat bagi dirinya.
2.      Olahraga yang sesuai
Olahraga memang merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi kesehatan tubuh kita. Olahraga akan dapat membuat proses metabolisme dalam tubuh kita berjalan lancar. Tubuh yang sehat tentu akan mendukung berfungsinya organ – organ dalam tubuh. Terlebih lagi saat ginjal mengalami gangguan, mempertahnkan kesehatan organ – organ tubuh lainnya menjadi lebih penting lagi. Olah raga teratur akan menjaga kesehatan paru – paru dan jantung, mem[erbaiki peredaran darah keseluruh tubuh, sehingga memberi energi dan menjaga kinerja seluruh organ tubuh. Olahraga juga memperbaiki kelenturan otot, yang akan membantu memperkuat tulang. Hal ini penting karena PGK sering kali memperlemah tulang. Olahraga aerobik (misalnya, lari, berenang)juga membantu mengurangi tekanan darah tinggi. Berikut adalah tips berolahraga bagi penderita PGK:
a.       Olahraga sebaiknya dilakukan secara teratur. Olahraga yang tidak teratur tidak akan membawa manfaat yang maksimal. Frekuensi olahraga yang ideal berbeda – beda untuk setiap orang. Olahraga dapat dilakukan teatur 3 atau 4 kali seminggu, sesuai kemampuan, yang penting teratur.
b.      Bagi yang baru memulai kebiasaan berolahraga, cobalah berolah raga dalam waktu singkat dahulu pada awalnya, misalnya 15 menit. Lama kelamaan. Jkai tubuh sudah lebih terbiasa. Perbanyak waktu olah raga menjadi 30 menit atau 1 jam, sesuai kemampuan.
c.       Janganlah berolahraga terlalu berlebihan atau memaksakan diri, jika dirasakan tubuh sudah tidak kuat lagi, segera berhenti. Jangan sampai merasa kelelahan. 
3.      Menjaga kestabilan emosi
Sering kali penderita PGK mengalami stress dan depresi karena penyakitnya susah untuk disembuhkan. Selain karena penyakitnya susah untuk disembuhkan, penderita PGK juga mengalami stress karena besarnya biaya yang dibutuhkan sselama menjalani proses terapi. Kerusakan fungsi ginjal ternyata juga mempengaruhi kinerja organ tubuh lainnya. Misalnya saja kondisi uremia (penumpukan zat –zat sisa dalam tubuh yang dialami olah PGK) juga dapat berefek terhadap sistem saraf. Membuat perasaan menjadi labil dan sering berpindah – pindah dari marah menjadi gembira, dan sebailknya (mood swing).
Oleh karena itu penderita PGK sangat membutuhkan dukungan dari orang – orang yang ada didekatnya. Kestabilan emosi dapat membantu proses penyembuhan secara lebih cepat. Berikut beberapa tips yang meungkin dapat membantu Anda dalam mengendalikan emosi dengan lebih baik:
a.      Konsultasi dan sharing
Seringakali stress yang timbul diakibatkan karena ketakutan akan penyakit yang dialami. Oleh karena itu, sangat baik jika penderita PGK bercerita pada orang yang ia percayai. Denagn berbagai cerita masalah yang sdang dihadapi dapat terasa lebih ringan. Memendam kesulitan dan kekhawatiran sering kali justru menambah ekstra permasalahan yang sudah ada. Sebaliknya, membicarakan dan mendiskusikannya terkadang membantu kita menemukan solusi yang sebelumnya tidak terlihat. Jika tidak ada solusi yang muncul pun, sekedar membicarakan dan sharing masalah pun seringkali dapat membantu meringankan beban pikran dan membuat hati lebih lapang.
b.      Berkumpulah dengan pasien PGK lainnya
Rasa senasib dan sepenanggungan bisanya bisa menimbulkan rasa persahabatan. Setidaknya dengan adanya orang yang mengalami penderitaan yang sama, penderita PGK tidak merasa sendiri lagi dalam menapaki hidup yang berat. Berkumpulah dengan orang yang mengalami penderitaan serupa sehingga bisa saling meneguhkan.
c.       Dekatkan diri dengan keluarga
Meskipun penderita PGK adalah orang yang paling mengalami beban berat, namun keluarga pun mengalami dampaknya. Mereka juga mengalami stress, rasa tidak berdaya, ketidakpastian serta kekhawatiran karena Anda adalah bagian dari diri mereka. Jika Anda sedang sakit mereka juga merasakan kesedihan Anda. Bukalah diri dan sering – sering berbagi perasaan dan ikiran dengan keluarga, sesuai dengan cara Anda masing – masing.
d.      Pengetahuan adalah kekuatan
Kadang Anda terlalu takut karena Anda mendapatkan informasi yang salah mengenai penyakit Anda. Maka lebih baik jika Anda mencari info seputar penyakit Anda pada buku – buku referensi atau berkonsultasi pada dokter spesialis penyakit Anda.


e.       Tetap aktif dalam kegiatan sosial
Penyakit PGK bukanlah penyakit menular sehingga Anda tetap aman dalam pergaulan dengan masyarakat. Menderita PGK tidak berarti Anda tidak dapat menikmati kesenangan berkumpul dengan para keluarga, kolega maupun teman. Kegiatan sosial membantu Anda mengalihkan pikiran dari PGK dan membantu Anda terus terlibat dalam masyarakat.

























DAFTAR PUSTAKA

1.         Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC: 2006
2.         Chris O’ Callaghan. At a Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: EMS: 2007
3.         Diah, Choirul, Syalfinaf, Endang. Biologi 2.  Jakarta: Esis: 2006
4.         Colvy, Jack. Gagal Ginjal (Tips Cerdas Mengenali dan Mencegah Gagal Ginjal). Jakarta: DAFA Publishing: 2010
5.         Aru, Bambang, Idrus, M. Simadibrata, S. Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing: 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar