BAB
II
GAGAL
GINJAL
A.
Gejala
Gagal Ginjal
Setiap orang dapat
terkena penyakit ginjal. Namun, mereka yang disarankan melakukan pemeriksaan
dini adalah orang yang memiliki faktor resiko tinggi, yakni mereka yang
memiliki riwayat darah tinggi dikeluarga, diabetes, penyakit jantung, serta ada
anggota keluarga yang dinyatakan dokter sakit ginjal(4).
Gagal ginjal kerap
tanpa keluhan sama sekali, bahkan, tak sedikit penderita mengalami penurrunan
fungsi ginjal hingga 90% tanpa didahului keluhan. Oleh karena itu, pasien
sebaiknya waspada jika mengalami gejala – gejala seperti tekanan darah tinggi,
perubahan jumlah kencing, ada darah dalam air kencing, bengkaka pada kaki dan
pergelangan kaki, rasa lemah serta sulit tidur, sakit kepala, sesak, dan merasa
mual dan muntah(4).
Salah satu jenis
pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mengetahui kesehatan ginjal adalah pemeriksaan urin. Jika ada
kandungan protein atau darah dalam kencing tersebut, maka menunjukkan kelainan
dari ginjal. Selain itu, pemeriksaan darah juga bisa dilakukan guna mengukur
kadar kreatinin dan urea dalam darah. Jika kadar kedua zat itu meningkat, maka
itu menunjukkan gejala kelainan pada ginjal. Pemeriksaan tahap lanjut untuk
mengenali kelainan ginjal adalah pemeriksaan radiologis dan biopsi ginjal.
Biasanya pemeriksaan ini atas indikasi tertentu dan sesuai saran dokter(4).
Tanda – tanda dari
gagal ginjal sebenarnya tidak kelihatan secara bersamaan. Dengan pemeriksaan
laboratorium, dapat diketahui dengan lebih cermat dan akurat apakah tanda –
tanda itu mengarah pada kemungkinan gagal ginjal(4).
Meskipun begitu,
beberapa tanda dan gejala gagal ginjal berikut ini perlu diwaspadai(4):
1. Kencing
terasa kurang dibandingkan dengan kebiasaan sebelumnya
2. Kencing
berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam untuk kencing
3. Napas
bau karena adanya kotoran yang mengumpul dirongga mulut
4. Gatal
– gatal terutamanya dikaki
5. Sering
bengkak di kaki, pergelangan, tangan, dan muka. Antara lain karena ginjal tidak
bisa membuang air yang berlebih
6. Kehilangan
nafsu makan, mual, dan muntah
7. Lekas
capai atau lemah, akibat kotoran tidak bisa dibuang oleh ginjal. Sesak napas,
akibat air mengumpul diparu – paru. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai
asma atau kegagalan jantung
Berikut ini adalah beberapa
hal yang amat penting untuk diperhatikan sehubungan dengan gejala gagal ginjal(4):
1. Pada
permulaan, gagal ginjal mungkin adalah asimtomatik (tidak mengahasilkan gejala
– gejala apa saja). Ketika fungsi ginjal berkurang, gejala – gejala dihubungkan
dengan ketidakmampuan mengatur keseimbangan – keseimbangan air dan elektrolit –
elektrolit untuk mengeluarkan produk – produk sisa dari tubuh dan memajukan
produksi sel darah merah. Kelesuan, kelemahan, sesak napas, dan pembengkakan
umum mungkin terjadi.
2. Metabolik
asidosis, atau peningkatan asam dari tubuh yang disebabkan oleh ketidakmampuan
menghasilkan bikarbonat, akan mengubah metabolisme enzim dan oksigen sehingga
menyebabkan gagal organ.
3. Tingkat
– tingkat urea yang naik didalam darah dapat mempengaruhi fungsi dari banyak
organ yang berkisar dari otak (encephalopathy) dengan perubahan dari pemikiran,
keperadangan lapisan jantung (pericarditis), kefungsi otot yang berkurang
karena tingkat – tingkat kalsium yang rendah (hypocalsemia).
4. Kelemahan
keseluruhan dapat terjadi disebabkan oleh anemia, suatu jumlah sel darah merah
yang berkurang, karena tingkat eritropoetin yang rendah tidak menstimulasi
secara tepat sumsum tulang.
5. Karena
ginjal tidak dapat menanggapi beban asam yang naik didalam tubuh, bernapas menjadi
lebih cepat ketika paru – paru mencoba untuk menyangga keasaman dengan membuang
(menghembus keluar) karbondioksida. Tekanan darah mungkin naik karena kelebihan
cairan, dan cairan ini dapat menumpuk diparu – paru, menyebabkan gagal jantung
kongesti (Congestive Heart Failure).
6. Ketika
produk – produk sisa mengumpul didalam darah, kehilangan nafsu makan, kelesuan,
dan kelelahan menjadi nyata. Ini akan melaju ke titik dimana fungsi mental akan
berkurang dan koma mungkin terjadi.
B.
Penyebab
Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat
terjadi akibat situasi akut atau dari persoalan – persoalan kronis. Pada gagal
renal akut, fungsi ginjal hilang secara cepat dan dapat terjadi dari suatu
keanekaragaman dari insult pada tubuh. Penyebab – penyebab dikategorikan
berdasarkan pada dimana luka telah terjadi(4).
1. Penyebab
Pre Renal
Dalam hal ini, penyakit
disebabkan oleh penyediaan darah ke ginjal yang berkurang. Penyebab – penyebab
pre renal antara lain adalah(4):
a. Hipovolemia
(volume darah yang rendah) disebabkan oleh kehilangan darah.
b. Dehidrasi
dari kehilangan cairan tubuh (muntah, diare, berkeringat, demam).
c. Pemasukan
cairan yang sedikit.
d. Obat,
contohnya diuretik (water pills) mungkin menyebabkan kehilangan air yang
berlebihan.
e. Kehilangan
penyediaan darah ke ginjal disebabkan oleh halangan dari arteri atau vena
renal.
2. Penyebab
Renal
Dalam hal ini,
kerusakan secara langsung terjadi pada ginjal sendiri. Yang termasuk penyebab
renal adalah(4):
a. Sepsis
Sistem imun tubuh
ditaklukan oleh infeksi dan menyebabkan peradangan dan penutupaan atau
penghentian dari ginjal. Ini biasanya tidak terjadi dengan infeksi – infeksi
saluran kencing.
b. Obat
– Obat
Beberapa obat beracun
untuk ginjal, termasuk obat – obatan antiperadangan nonsteroid seperti
ibuprofen dan naproxen. Yang lain adalah antibiotik seperti aminoglycosides,
lithium(eskalith, lithobid), obat – obat yang mengandung iodine seperti yang
disuntikkan untuk studi – studi radiologi dengan dye (zat pewarna).
c. Rhabdomyolysis
Ini adalah suatu
situasi dimana ada penguraian otot yang signifikan didalam tubuh, dan produk –
produk degenerasi dari serat –serat oto menyumbat sistem penyaringan dari
ginjal. Sering terjadi karena trauna dan luka yang menghancurkan. Juga
disebabkan oleh beberapa obat yang digunakan untuk merawat kolesterol yang
tinggi.
d. Multipel
Myeloma
e. Acute
Glomerulonphritis
Peradangan dari
glomeruli. Sistem penyaringan dari ginjal. Banyak penyakit dapat menyebabkan
peradangan ini termasuk systemic lupus
erythematosus, wegener’s granulomatosis, dan Goodpasture syndrome.
3. Penyebab
Post Renal
Penyebab post renal
disebakan oleh faktor – faktor yang mempengaruhi aliran urin, antara lain(4):
a. Halangan
atau rintangan dari katong kemih atau ureter dapat menyebabkan tekanan balik
ketika tidak ada tempat untuk urin. Ketika tekanan cukup meningkat ginjal
menutup.
b. Prostatic
hypertrophy atau kanker prostat mungkin menghalangi uretra dan mencegah kantong
kemih mengosongkan diri. Tumor didalam perut yang mengelilingi dan menghalangi
ureter – ureter.
c. Batu
– batu ginjal
Gagal ginjal yang
kronis berkembang dalam waktu berbulan – bulan dan bahkan bertahun – tahun.
Penyebab – penyebab yang paling umum dari gagal renal kronis dihubungkan dengan(4):
a. Diabetes
yang terkontrol dengan buruk.
b. Tekanan
darah tinggi yang terkontrol dengan buruk.
c. Chronic
glomerulonephriris.
Penyebab – penyebab
yang lebih tidak umum(4):
a. Polycystic
kidney disease.
b. Reflux nephropathy.
c. Batu
– batu ginjal.
d. Penyakit
prostat.
C.
Komplikasi
Ginjal
Seperti penyakit
menahun lainnya, penyakit ginjal kronik (PGK) juga disertai oleh komplikasi.
Komplikasi yang seringkali ditemui pada penderita PGK adalah anemia,
Osteodistrofi renal, gagal jantung, dan disfungsi ereksi(4).
1. Anemia
Anemia terjadi jika
kadar sel darah merah dalam tubuh rendah. Sel darah merah ini bertugas
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan, sehingga tubuh dapat
menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan sehari – hari.
Penderita Gagal Ginjal
Kronik, anemia dapat terjadi karena berkurangnya produksi hormon eritropoietin (EPO) akibat berkurangnya
massa sel – sel tubulus ginjal. Hormon ini doperlukan oleh sumsum tulang untuk
merangsang pembentukan sel – sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk
mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Jika eritropoietin berkurang, maka sel –
sel darah merah yang terbentuk pun akan berkurang, sehingga timbullah anemia.
Faktor yang juga
berperan dalam terjadinya anemia adalah kekurangan zat besi, asam folat,
vitamin B12, dan kartinin, pengahambat eritropoietin (peradangan,
hipertroparatiroidisme), perdarahan, dan umur sel darah merah yang memendek
(misalnya pada anemia hemolitik, anemia sickle cell/ anemia bulan sabit).
Gejala – gejala yang
muncul pada saat anemia adalah mudah lelah, tampak pucat, kurang bertenaga,
pusing, sulit berkonsentrasi, nafsu makan berkurang, sulit tidur, jantung
berdebar – debar, dan sesak napas.
Untuk mengatasi anemia,
ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satu cara dengan pemberian EPO. EPO
atau eritropoietin adalah obat untuk meningkatkan produksi sel darah merah.
Diberikan dengan cara disuntikkan kebawah kulit (subcutan) atau kedalam vena
(intravena).
Cara lain yang dapat
dilakukan adalah pemberian zat besi. Untuk membuat sel darah merah, tubuh juga
memerlukan zat besi dalam jumlah yang cukup. Karena itu, supaya efektif,
pemberian EPO biasanya dilakukan bersamaan dengan pemberian zat besi. Zat besi
diberikan dalam bentuk pil atau suntikan intravena.
Jika tidak diobati
anemia dapat menyebabkan beban kerja jantung meningkat sehingga terjadi
penebalan jantung sebelah kiri (LVH atau Left Ventricular Hypertrophy) yang
dapat berlanjut menjadi gagal jantung.
2. Osteodistrofi
Renal
Osteodistrofi renal
adalah kelainan tulang pada PGK yang terjadi akibat gangguan metabolisme
mineral. Pada keadaan ini, ginjal gagal mempertahankan keseimbangan kadar kalsium
dan fosfat dalam darah. Ada tiga jenis osteodistrofi renal yaitu orteomalasia,
osteitis fibrosa, osteosklerosis.
Faktor utama yang
berperan dalam terjadinya osteodistrofi renal adalah penurunan fungsi ginjal,
hiperparatiroidisme sekunder (kelenjar paratiroid membesar karena bekerja
ekstra), dan defisiensi (kekuarangan) dan resistensi vitamin D aktif.
Ada beberpa hal yang
dapat dilakukan untuk mengatasi osteodistrofi ini antara lain:
a. Diet
rendah fosfat, batasi konsumsi keju, susu, kacang merah kering, kacang polong,
kacang – kacangan, selai kacang. Kurangi asupan coklat, soda, dan bir.
b. Pemakaian
obat pengikat fosfat, untuk mengurangi penyerapan fosfor kedalam darah
(contohnya kasium karbonat atau kalsium asetat). Terapi diberikan sampai kadar
fosfat 4,5 mg/dL dan kalsium 10 mg/dL. Pada penderita yang menjalani
hemodialisis, pemberian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat memicu
terjadinya hiperkalsemia. Untuk menghindarinya, maka kadar kalsium dalam
dialisat diturunkan dari 3.25 – 3.50 mEq/L menjadi 2.5 mEq/L.
c. Paratirodisme
subtotal (pengangkatan sebagian besar kelenjar paratiroid), biasanya dilakukan
pada demineralisasi tulang yang berat, hiperkalsemia atau pruritus (gatal –
gatal) yang membandel.
d. Vitamin
D, untuk mengurangi hiperparatiroidisme sekunder, diberikan kolsitriol, sampai
kadar hormon paratiroid mencapai 2 – 3 kali normal (130 – 195 pg/mL[13.7 – 20.5
pmol/L]). Diberikan jika kadar pengikat fosfat tidak berhasil menurunkan kadar
fosfat dalam darah.
Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan ddengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsiterol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi
pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisi yang dilakukan pada pasien gagal
ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia(5).
Osteodistrofi renal
merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2.1(5).
|
Gambar
2.1 patogenesis terjadinya osteodistrofi renal(5)
Pemberian kalsiterol
untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya
tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium
disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium
karbonat di jaringan, yang disebut klasifikasi metastatik. Disamping itu juga
dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Oleh karena itu pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2.5 kali normal(5).
3. Gagal
Jantung
Penderita PGK juga
beresiko mengalami gagal jantung atau penyakit jantung iskemik. Gagal jantung
adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah yang
memadai keseluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi kekuatan memompa atau
daya tampungnya berkurang. Gagal jantung bisa menyerang jantung bagian kiri,
bagian kanan atau keduanya.
Beberapa gejala yang
muncul adalah sesak napas, merasa lelah, tidak ada nafsu makan, bengkak
dipergelangan kaki, kaki, tungkai (kadang perut), batuk (yang semakin memburuk
pada malam hari atau ketika berbaring), berat badan bertambah, dan sering
berkemih.
Gagal jantung pada PGK
biasanya didahului oleh anemia. Jika tidak diobati, anemia pada PGK bisa
menimbulkan masalah yang serius. Jumlah sel darah merah yang rendah akan memicu
jantung sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal ini menyebabakan pelebaran
bilik jantung yang disebut LVH 9left ventricular hipertrophy). Lama kelamaan,
otot jantung akan melemah dan tidak mampu memompa darah sebagaimana mestinya
sehingga terjadilah gagal jantung. Hal ini dikenal dengan nama sindrom
kardiorenal.
Berat ringannya gagal
jantung, biasanya dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap kegiatan
sehari – hari. Derajat 1 tanpa keluahan (masih bisa melakukan aktivitas fisik
sehari – hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak napas), derajat 2 ringan
(aktivitas ringan/sedang menyebabkan kelelahan atau sesak napas, tetapi jika
aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun akan hilang), derajat 3 sedang
(aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan atai sesak napas, tetapi
keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan), derajat 4 berat (tidak dapat
melakukan aktivitas fisik sehari – hari, bahkan pada saat istirahat pun keluhan
tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas.
Untuk mengatasinya,
sekurang - kurangnya ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, perubahan gaya
hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan diet rendah garam, membatasi asupan
cairan, dan berhenti merokok. Kedua, mengkonsumsi obat – obatan. Obat – obatan
diberikan untuk membantu memperbaiki fungsi jantung dan meringankan gejalanya.
Beberapa obat yang dikenal adalah diuretik (untuk mengurangi penimbunan cairan
dan pembengkakan), penghambat ACE (ACE inhibitors), penyekat beta ([beta
blockers] untuk mengurangi denyut jantung dan menurunkan tekanan darah agar
beban jantung berkurang) dan gigoksin (untuk memperlambat denyut dan daya pompa
jantung).
4. Disfungsi
Ereksi
Disfungsi ereksi adalah
ketidakmampuan untuk mencapai ereksi atau mempertahankan ereksi yang diperlukan
untuk melakukan hubungan seksual. Untuk mencapai suatu kepuasan dalam melakukan
hubungan seksual, diperlukan ereksi yang keras sampai kaku, agar bisa dilakukan
penetrasi dan bertahan sampai terjadinya ejakulasi.
Gangguan sistem
endokrin yang terjadi pada PGK menyebabkan berkurangnya produksi hormon
testosteron. Hormon ini diperlukan untuk menghasilkan sperma (spermatogenesis),
merangsang libido dan fungsi seksual yang normal. Selain itu, secara emosional
penderita PGK juga mengalami perubahan emosi. Perasaan cemas, khawatir dan
depresi dapat menyebabkan terkurasnya energi, berkurangnya kemampuan dan
hilangnya keinginan untuk melakukan aktivitas seksual.
Untuk mengatasinya, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan. Petama adalah terapi sulih hormon. Dalam
terapi ini testosteron diberikan dalam bentuk suntikan, gel yang diloeskan
kekulit atau skin pacth yang ditempelkan kekulit. Kedua penggunaan penghambat
PDE 5. Cara ini adalah pengobatan yang paling sederhana dan mudah untuk
dilakukan (contoh saja vardenafil, sildenafil). Ketiga, terapi dengan bantuan
alat.
Jika cara diatas tidak
begitu memuaskan, cara – cara berikut dapat menolong:
a. Terapi
self injection: menyuntikkan sendiri ke penis, obat yang menyebabkan relaksasi
pembuluh darah.
b. Terapi
trans uretra: dengan bantuan aplikator, sebuah pil kecil dan lunak dimasukkan
kedalam uretra (lubang diujung penis). Obat dalam pil kecil tersebut akan
menyebabkan relaksasi pembuluh darah penis sehingga jaringan penis akan terisi
penuh dengan darah dan terjadilah ereksi.
c. Alat
ereksi vakum: tabung plastik yang dilengkapi alat pompa (untuk memompa udara
keluar dari tabung )dan pita plastik (untuk mempertahankan ereksi setelah
tabung dilepaskan).
d. Implant
penis: implant semirigid dan dapat mengembang yang dimasukan kedalam penis
melalui pembedahan.
D.
Jenis
Gagal Ginjal
Pertanyaan
Utama pada Gagal Ginjal:
a.
Apakah terdapat komplikasi yang
mengancam nyawa yang memerlukan pengobatan segera?
b.
Apakah ginjal bersifat akut atau
kronik?
c.
Jika akut, apakah termasuk tipe
prerenal, renal atau pasca renal?
Jika
prerenal atau pascarenal atasi penyebabnya!
d.
Jika termasuk tipe renal, apa
diagnosisnya?
|
Tabel
2.1 pertanyaan umum pada gagal ginjal(5)
1.
Gagal
Ginjal Akut
Penyebab ARF tipe Renal
|
||
Diagnosis
|
Gambaran Klinis
|
Pemeriksaan Penunjang
|
a. Rabdomiolisis
b. Glomerulonefritis
1) Penyakit
Goodpasture
2) Vaskulitis
3) LES
c. Nefritis
Interstisial
d. Sindrom
Hemolitik Uremik
e. Nekrosis
Tubular Akut
|
Nyeri
otot
Perdarahan
paru
±
gambaran sistemik, sinusitis, ruam.
Tanda
neurologis/sendi, ruam
Akibat
obat
Diare
Baerbagai
faktor terutama dirumah sakit
|
CK
meningkat, mioglobinuria
Silinder
sel darah merah
Antibodi
anti – GBM meningkat
ANCA
meningkat (anti- neutrophil cytoplasmic
antibodies)
Anti
dsDNA meningkat, antibodi nuklear
Eosinofil
meningkat (darah dan urin)
Hb
menurun, hemolisi
Silinder
tubular granular
|
Tabel
2.2 penyebab ARF tipe renal(5)
Gagal ginjal akut
timbul jika terjadi penurunan akut laju filtrasi glomerulus (LFG) dan zat yang
biasanya diekskresi oleh ginjal terakumulasi dalam darah. Gagal ginjal akut
dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang tidak adekuat (prarenal), penyakit
ginjal intrinsik (renal), dan obstruksi saluran kemih (pascarenal). Keadaan
prerenal mencakup 50 – 60% kasus, pascarenal 15% kasus, dan renal sekitar 20 –
35% sisanya. Pada negara berkembang, komplikasi obstetrik infeksi seperti
malaria merupakan penyebab yang penting. Angka mortalitas keseluruhan sekitar
30 – 70%, tergantung usia dan adanya gagal organ atau penyakit lain. Dari
pasien yang bertahan, 60% memiliki fungsi ginjal normal, namun 15 – 30%
memiliki gangguan ginjal dan sekitar 5 – 10% mengalami penyakit ginjal stadium
akhir(2).
Penurunan mendadak faal
ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL(≥
26.4 µmol/L), persentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1.5 kali kenaikan dari
nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat ≤ 0.5
mg/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam)(5). Sebagian besar gagal
ginjal akut (ARF) timbul di rumah sakit akibat deplesi volume, sepsis, atau
toksisitas obat, terutama setelah pembedahan, trauma, atau luka bakar(2).
Kriteria diatas
memasukkan baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari perubahan kreatinin
untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks massa tubuh,
dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya
diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai
kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus
memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab – sebab oliguria lain
yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan
pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan ARF dapat(5):
a. Sembuh
sempurna
b. Penurunan
faal gnjal sesuai dengan tahap – tahap GGK (CKD tahap 1 – 4)
c. Ekserbasi
berupa naik turunnya progresivitas GGK/ CKD tahap 1 – 4
d. Kerusakan
tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5)
Kenaikan
Kreatini Serum (mg/dL)
|
Multivariabel
OR (95% CL)
|
Area
under ROC curve
|
0.3
|
4.1 (3.1 – 5.5)
|
0.84
|
0.5
|
6.5 (5.0 – 8.5)
|
0.86
|
1.0
|
9.7 ( 7.1 – 13.2)
|
0.84
|
2.0
|
16.4 (10.3 – 26)
|
0.83
|
Tabel
2.3 nilai kreatinin serum(5)
Kategori RIFLE
|
Kriteria Kreatinin
Serum
|
Kriteria UO
|
(A)
The acute dialysis quality intiative (ADQ)
criteria for the definition and classification of AKI (i.e RIFLE criteria)
|
||
Risk
|
Kenaikan
kreatinin serum ≥ 1.5 x nilai dasaratau penurunan GFR ≥ 25%
|
<
0.5 mL/kg/jam for ≥ 6/jam
|
Injury
|
Kenaikan
kreatinin serum ≥ 2.0 x 5 x nilai dasar atau penurunan GFR ≥50%
|
<
0.5 mL/kg/jam atau ≥12 /jam
|
Failure
|
Kenaikan kreatinin
serum ≥ 3.0 x 5x nilai dasar atau penurunan GFR ≥ 75% or an
Nilai
absolut kreatinin serum ≥ 4mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg
|
< 0.3 mL/kg/jam ≥
24jam
Anuria ≥ 12 jam
|
AKIN criteria
|
Kriteria kreatinin
serum
|
Kriteria UO
|
Tabel
2.4 klasifikasi RIFLE(5)
Tahap
|
Kriteria
kreatinin serum
|
Kriteria
produksi urin
|
1
|
Kenaikan
kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL(26.4 µmol/L) atau kenaikan ≥ 150 to 200% (1.5 – 2
kali lipat) dari nilai dasar
|
Kurang
dari 0.5 mg/kg perjam lebih dari 6 jam
|
2
|
Kenaikan
kreatinin serum > 200 – 300% (>2 – 3 kali lipat dari nilai dasar)
|
Kurang
dari 0.5 ml/kg/jam ≥ 12 jam
|
3
|
Kenaikan
kreatinin serum >300% (>3 kali lipat dari nilai dasar) atau serum
kreatinin ≥ to 4.0 mg/dL (≥345 µmol/L) with an acute increase of at least 0.5
mg/dL (44µmol/L)
|
Kurang
dari 0.3 mL/kg/jam ≥24 jam atau anuria 12 jam
|
Tabel
2.5 klasifikasi AKIN(5)
Etiologi
|
Sedimen
|
FENA+ Fe - Urea
|
Proteinuria
|
Prerenal
|
Torak hialin
|
<1
<35
|
Tidak ada atau samar
|
Iskemia
|
Sel epitel, muddy
brown cats, pigmented granular casts
|
<2
<50
|
Samar – ringan
|
Nefritis
Interestisial Akut
|
Leukosit (WBC), torak
leukosit, eosinofil, eritrosit (RBC), sel epitel
|
>1
|
Ringan – sedang
|
GN akut
|
Dysmorphic RBCs, RBC
cast
|
<1
early
|
Sedang – baik
|
Postrenal
|
Beberapa torak
hialin, eritrosit
|
<1
early
>1
late
|
Tidak ada atau samar
|
Lysis Tumor
|
Kristal asam urat
|
Tidak ada atau samar
|
|
Arterial/ venus
trombosis
|
Eritrosit
|
Ringan
– sedang
|
|
Ethylene glycol
|
Kristal kalsium
oksalat
|
Samar
- sedang
|
Tabel
2.6 temuan klainan urin pada ARF(2)
Prosedur
|
Informasi yang dicari
|
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
|
Tanda
– tanda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. Indikasi beratnya gangguan
metabolik. Perkiraan status volume (hidrasi)
|
Mikroskopik urin
|
Pertanda
inflamasi glomerulus atau tubulus. Infeksi saluran kemih atau uropati kristal
|
Pemeriksaan biokimia darah
|
Mengukur
pengurangan laju filtrasi glomerulus dan gangguan metabolik yang
diakibatkannya
|
Pemeriksaan biokimia urin
|
Membedakan
gangguan ginjal pre renal dan renal
|
Darah perifer lengkap
|
Menentukan ada tidaknya anemia,
leukositosis, dan kekurangan trombosit akibat pemakaian
|
USG ginjal
|
Menentukan ukuran ginjal, ada
tidaknya obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang abnormal
|
Bila diperlukan:
CT scan Abdomen
|
Mengetahui struktur abnormal dari
ginjal dan traktus urinarus
|
Pemindaian radionuklir
|
Mengetahui perfusi ginjal yang
abnormal
|
Pielogram
|
Evaluasi perbaikan dari obstruksi
traktus urinarius
|
Biopsi ginjal
|
Menentukan berdasarkan
pemeriksaan patologi penyakit ginjal
|
Tabel
2.7 evaluasi pada pasien ARF(5)
Kerusakan
Vaskular
|
Kerusakan
Tubular
|
||
Vasokontriksi
renal
|
Kerusakan
reperfusi
|
Obstruksi
tubular
|
Regenerensi
tubular
|
Dopamin
dosis rendah
|
Anti
ICAM – 1 mAb
|
Furosemid
|
Faktor
pertumbuhan epidermal dan hepatosit
|
Reseptor
antagonis endotelin
|
Anti
– CD18 mAb
|
Manitol
|
Faktor
pertumbuhan hepatosit insulin – like growth factor
|
Peptide
natriuretik natrial
|
Pengikat
radikal bebas
|
Dopamin
dosis rendah
|
|
Antagonis
kalsium
|
Penghambat
protease α- MSH
|
||
Antagonis
reseptor leukotrien
|
Membran
bikompatibel
|
Tabel
2.8 strategi untuk mencegah atau memperbaiki nekrosis tubular akut(5)
-
Cari dan perbaiki faktor pre dan
pascarenal
-
Evaluasi obat – obatan yang telah
diberikan
-
Optimalkan curah jantung dan
aliran darah ke ginjal
-
Perbaiki dan atau tingkatkan
aliran urin
-
Monitor asupan cairan dan
pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari
-
Cari dan obati komplikasi akut
(hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hiperfosfotemia, edema paru)
-
Asupan nutrisi adekuat sejak dini
-
Cari fokus infeksi secara agresif
-
Perawatan menyeluruh yang baik
(kateter, kulit, psikologis)
-
Segera melmulai terapi dialisis
sebelum timbul komplikasi
-
Berikan obat dengan dosis tepat
sesuai kapasitas bersiahn ginjal
|
Tabel
2.9 prioritas tatalaksana pasien dengan ARF(5)
a.
Anamnesis
Anamnesis
dapat mengindikasikan gangguan ginjal yang sudah terjadi sebelumnya,
hipertensi, atau diabetes mellitus, yang semuanya merupakan predisposisi
iskemia ginjal. Hematuria yang jelas terlihat (frank hematuria) yang diikuti
oleh oliguria mengarah pada glomerulonefritisdan hemoptisis mengarah pada
sindrom Goodpasture. Riwayat infeksi kulit atau tenggorok sebelumnya mengarah
pada glomerulonefritis pasca infeksi. Pada pria, keluhan berkemih seperti
frekuensi, nokturia, dan pancaran yang buruk dengan hesistansi serta urin
menetes mengarah pada obstruksi pasca renal akibat penyakit prostat. Nyeri dan
pembengkakan otot setelah latihan fisik mengarah pada rabdomiolisis.
Gastroenteritis dapat mengindikasikan sindrom hemolitik uremik yang terkait Escherichia
coli. Riwayat penyakit sebelumnya dapat menunjukkan penyakit meultisistem yang
mendasari yang berkaitan dengan glomerulonefritis, penyakit vaskular (berkaitan
dengan stenosis arteri renalis), keganasan (berkaitan dengan hiperkalsemia),
infeksi kronis seperti osteomielitis atau abnormalitas katup jantung yang
rentan terhadap endokarditis. Riwayat penggunaan obat seharusnya mencakup
kemungkinan meracuni diri sendiri dan penggunaan analgesik(2).
b.
Pemeriksaan Fisik
Nilailah
status volume cairan pasien. Carilah tanda penyakit multisistem, emboli
kolesterol, dan penggunaan obat intravena. Pembengkakan atau nyeri otot
mengarah pada rabdomiolisis. Pada mata dapat ditemukan perubahan hipertensif,
diabetik, atau perubahan diagnostik lainnya. Periksalah ulkus dekubitus, luka
operasi, dan traumatik untuk sepsis. Nadi, tekanan darah (jika perlu dalam
keadaan berbaring atau berdiri), tekanan vena jugularis, dan pemeriksaan
jantung dapat mengindikasikan deplesi volume, lesi jantung, atau perikarditis.
Periksalah dada untuk menemukan edema paru dan bukti infeksi atau perdarahan.
Penyakit saluran pernapasan atas atau sinusitis mengarah pada penyakit Wegener.
Ginjal polisiklik dapat teraba dan kandung kemih yang teraba besar dapat
mengarah pada obstruksi. Pemeriksaan ginjal dapat menunjukkan penyakit prostat
atau pelvis(2).
c.
Tata Laksana
Penyebab
prarenal atau pascarenal harus dikoreksi segera. Penyakit ginjal intrinsik
diobati berdasarkan tipenya. Tanpa mempertimbangkan etiologinya, pemeriksaan
dasar tertentu dilakukan secara rutin(2).
1) Elektrolit
Elektolit plasma
seharusnya diperiksa setiap hari. Asupan kalium seharusnya dibatasi, diuretik
dan terapi penggantian ginjal digunakan untuk mencegah hiperkalemia(2).
2) Asam
Asam menghambat proses
metabolik. Asidosis berat dengan fungsi ginjal yang tidak adekuat harus diobati
dengan terapi pengganti ginjal(2).
3) Volume
Nilailah status volume
cairan tubuh secara teratur. Bila perlu, ikurlah tekanan vena sentral dengan
keteter vena jugularis interna atau subklavia. Pantaulah asupan dan pengeluaran
cairan. Kateterisasi urin memberikan jumlah urin yang akurat, namun terdapat
resiko infeksi. Kehilangan cairan tak terlihat harian (daily insensible loss) bervariasi dengan jumlah minimum 500mL dan
sekitar 500mL ekstra untuk setiap 0C pada kondisi demam. Menimbang
pasien setiap hari dapat menjadi panduan dalam penggantian cairan. Penggantian
cairan seharusnya disesuaikan dengan kehilangan cairan yang tidak terlihat dan
yang diketahui(2).
4) Edema
Paru
Pasien seharusnya duduk
dan diberi oksigen. Diuretik diberikan jika masih ada fungsi ginjal yang
tersisa. Jika tidak, terapi penggantian ginjal harus dilakukan segera. Selama
menunggu, pemberian nitrat dan opiat dapat memberikan efek vasodilatasi. Bila
perlu, lakukan vena seksi 200 – 500 mL darah dan berikan ventilasi dengan
tekanan positif pada akhir ekspirasi (possitive
end- expiratory pressure)(2).
5) Penguluran
Umum
Koreksilah hipoksemia
dengan oksigen, dan bila perlu, ventilasi. Curah jantung seharusnya
dipertahankan denagn obat inotropik. Hemoglobin seharusnya dipertahankan diatas
10g/dL untuk mempertahnkan oksigenasi jaringan. Pasien sering berada dengan
keadaan hiperkatabolik dan harus diberi makan secara nasogatri atau parenteral
jika pasien tidak bisa makan. Hipertensi seharusnya dikendalikan dengan
mengatur keseimbangan cairan dan pemberian antihipertensi bila perlu(2).
6) Terapi
penggantian Ginjal
Indikasi absolut terapi
penggantian ginjal meliputi hiperkalemia, asidosis, edema paru, dan komplikasi
uremia berat. Hemodialisis ditoleransi buruk oleh pasien yang tidak stabil
secara hemodinamik. Hemofiltrasi kontinu, yang lebih lambat, ditoleransi dengan
lebih baik(2).
Komplikasi
|
Pengobatan
|
Kelebihan
volume intravaskular
|
Batas
garamm (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari), furosemid, ultrafiltrasi atau
dialisis.
|
Hipobatremia
|
Batas
asupan air (<1 L/hari): hindari infus larutan hipotonik
|
Hiperkalemia
|
Batasi
diet K (<40 mmol/hari); hindari diuretik hemat K, potassium – binding ion
exchange resins, glukosa (50 mL dekstrose 50%)dan insulin ( 10 unit), natrium
bikarbonat (50 – 100 mmol) agonis β2 (salbutamol, 10 – 20 mdg di inhalasi
atau 0.5 mg I.V), kalsium glukonat (10 mL larutan 10% dalam 2 – 5 menit)
|
Asidosis
metabolik
|
Natium
bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH > 7.2)
|
Hiperfosfatemia
|
Batasi
asupan diet fosfat (800mg/hari) obat pengikat fosfat ( kalsium asetat;
kalsium karbonat)
|
Hipokalemia
|
Kalsium
karbonat; kalsium glukonat (10 – 20 mL larutan 10%)
|
Nutrisi
|
Batasi asupan diet (0.8 – 1
g/kgBB/hari0 jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100gr/hari),
nutrisi enternal atau parenteral jika perjalanan klinik lama tahu katabolik
|
Tabel
2.10 Pengobatan Suportif pada Gangguan Ginjal Akut(5)
2.
Gagal
Ginjal Kronik
Semua proses penyakit
yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.
Seiring dengan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, sefron yang tersisa
melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi dan reabsorpsi zat terlarut.
Sayangnya, hal ini justru merusak nefron yang tersisa dan mempercepat
kehilangan nefron. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi jika pasien
membutuhkan terapi penggantian ginjal dengan dialisis atau transplantasi(2).
Komplikasi gagal ginjal
kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya dieksresi oleh
ginjal, serta produksi vitamin D dan eritropoetin yang tidak adekuat oleh
ginjal. Sindrom uremik mengacu pada komplikasi gagal ginjal kronik seperti
anemia, kebingungan (confusion), koma, asteriksis, kejang, efusi perikardium,
gatal, dan penyakit tulang. Terapi penggantian ginjal memperbaiki masalah –
masalah ini, namun pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir memiliki
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada populasi lainnya(2).
a. Perbedaan
Gagal Ginjal Akut dan Kronik
Baik gagal ginjal akut
maupun kronik meningkatkan kalium, ureum, dan kreatinin plasma, serta
menyebabkan asidosis metabolik. Pada gagal ginjal kronik, biasanya terdapat
komplikasi kronik yang meliputi anemia, akibat eritropoetin yang tidak adekuat,
serta penyakit tulang, biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat tinggi, dan
hormon paratiroid tinggi. Yang khas, kadar kalium plasma rendah pada gagal
ginjal kronik, kecuali jika terdapat hiperparatiroidisme tersier. Hasil temuan
kunci pada gagal ginjal kronik adalah ginjal yang kecil pada ultrasonografi
oleh atrofi atau fibrosis(2).
b. Masalah
Akut pada Gagal Ginjal Kronik
Masalah akut dapat
terjadi baik pada gagal ginjal akut maupun kronik. Pengobatan segera dengan
dialisis atau hemofltrasi diperlukan untuk hiperkalemia yang mengancam nyawa,
asidosis berat, edema paru, dan gejala uremia. Perburukan tiba – tiba pada
pasien dengan gangguan ginjal yang belum didialisis dapat dipicu oleh
hipertensi berat, infeksi saluran kemih, atau obat nefrotoksik, obat anti
inflamasi non steroid atau ACE inhibitor dapat menyebabkan perburukan ginjal
dengan cara mempengaruhim aliran darah glomerulus(2).
c. Kalsifikasi
Klasifikasi penyakit
gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi(5).
Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang hitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut(5):
*)
pada
perempuan dikalikan 0.85
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG
(ml/mnt/1.73m2)
|
1
|
≥90
|
|
2
|
60
-89
|
|
3
|
30
– 59
|
|
4
|
15
– 59
|
|
5
|
Gagal
ginjal
|
<
15 atau dialisis
|
Tabel
2.11 klasifikasi gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit(5)
Penyakit
|
Tipe Mayor
|
Penyakit ginjal diabetes
|
Diabetes
tipe 1 dan tipe 2
|
Penyakit
ginjal non diabetes
|
Penyakit
glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit
vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit
tubulointerestisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyaakit
kistik (ginjal polikstik)
|
Penyakit
pada transplantasi
|
Rejeksi
kronik
Keracunan
obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit
recurrent (glomerular)
Transplant
glomerulopathy
|
Tabel
2. 12 kalsifikasi gagal ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi(5)
d. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit
gagal ginjal pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, but dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nephron yang
masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokinin dan growth factors, hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi,
yan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nephron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nephron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresivitas tersebut.aktivasi jangka panjang aksis renin angiotensin aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF – β). Beberapa hal juga dianggapberperan dalam terjadinya progresivitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerestisial(5).
Pada stadium paling
dini gagal ginjal kronik, kehinlangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nephron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asymtomatic), tetapi sudah tejadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai LFG dibawah 30%, pasien
memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah , gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, priritus, mual,
muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain kalium dan natrium. Pada LFG dibawah 15%
akan terjdi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan teraapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy), antara lain dialysis atau tranplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal(5).
e. Etiologi
Etiologi penyakit gagal
ginjal sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.13 menunjukkan penyebab utama
dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat(5).
Sedangkan Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 200 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 2.14(5).
Dikelompokkan pada
sebab lain diantaranya, nefritis, lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab penyakit tidak diketahui(5).
Penyebab
|
Insiden
|
Diabetes
Mellitus
Tipe
1 (7%)
Tipe
2 (37%)
|
44%
|
Hipertensi
dan penyakit pembuluh darah besar
|
27%
|
Glomerulonefritis
|
10%
|
Nefritis
Interestialis
|
4%
|
Kista
dan penyakit bawaan lain
|
3%
|
Penyakit
sistemik (seperti lupus dan vaskulitis
|
2%
|
Neoplasma
|
2%
|
Tidak
diketahui
|
4%
|
Penyakit
lain
|
4%
|
Tabel
2. 13 Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (1995 –
1999)
Penyebab
|
Insiden
|
Glomerulonefritis
|
46.39%
|
Diabetes
Mellitus
|
18.65%
|
Obstruksi
dan Infeksi
|
12.85%
|
Hipertensi
|
8.46%
|
Sebab
lain
|
13.65%
|
Tabel
2.14 Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000
f. Pendekatan
Diagnostik(5)
1) Gambaran
Klinis
Gambaran klinis pasien
gagal ginjal kronis meliputi:
a) Sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktur urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik(SLE), dan lain sebagainya.
b) Sindrom
uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang – kejang,
sampai koma.
c) Gejala
komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida)
2) Gambaran
Laboratoris
Gambaran laboratorium
ginjal meliputi:
a) Sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan
LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kar=dar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan
urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituri, cast, dan isostenuria.
3) Gambaran
Radiologis
Pemeriksaan radiologis
penyakit Gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
a) Foto
polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b) Pielografi
intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi
antegrad atau retrogad dilakukan sesuai dengan indikasi
d) Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrisis atau batu ginjal, kista, kalsifikasi, massa. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
4) Biopsi
dan Pemeriksaan Hispatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan
hispatologi dilakukan pada pasiendengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
hispatologi inii bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan. Biopsi ginjal
indikasi-kontra dilakukan padakeadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidneys), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.
g. Komplikasi
Klinis(2)
1) Komplikasi
hematologis
Anemia pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoetin yang tidak adekuat oleh
ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoetin subkutan atau intravena. Hal
ini hanya bisa bekerja bila kadar besi dan folat dan B12 adekuat dan
pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk
melawan eritropoetin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
Walaupun waktu
pembekuan darah normal, namun fungsi trombosit terganggu dan waktu perdarahan
(waktu yang diperlukan suatu perdarahan akibat luka untuk berhenti) memanjang. Waktu
perdarahan dapat membaik dengan dialisis yang efisisen, koreksi anemia dengan
eritropoetin, dan pemberian estrogen terkonjugasi. Vasopresin sintetik
(desmopresin atau DDAVP) meningkatkan kadar faktor non Willebrand dan
memperpendek waktu perdarahan untuk sementara.
2) Penyakit
vaskular dan hipertensi
Penyakit vaskulaer
merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada pasein yang
tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor resiko yang
paling penting. Sebagian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik
disebabkan hipovolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya
tidak cikup parah untuk bisa menimbulkan edema, nemun mungkin terdapat ritme
jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respon terhadap retriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialisis. Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
Hipertensi yang tidak
memberi repon terhadap pengurangan volume tubuh sering kali berkaitan dengan
produksi renin yang berlebihan. Kelebihan aktivitas simpatis juga dapat
berperan. Vasokonstriktor seperti endotelin hormon antidiuretik ( antidiuretik
hormon atau vasopresin), norepineprine (noradrenalin), atau defisiensi
vasodilator nitrat oksida dapat pula berperan dalam hipertensi jenis ini. Jika
tekanan darah tidak bisa dikontrol dengan inhibitor ACE, blockker reseptor
angiotensin, vasodilator atau β – blocker, maka nefroktomi kadang membantu.
Namun demikian, stenosis arteri renalis seharusnya disingkirkan sebagai
penyebab hipertensi, karena sering kali dapat diobati dengan angioplasti balon.
3) Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal
biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat hilangnya nefron. Namun
demikian, beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun
kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang
dapat menyebabkan dehidrasi.
4) Integumen
Gatal merupakan keluhan
kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini sering timbul pada
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier serta dapat disebabkan oleh deposit
kalsium fosfat pada jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar
fosfat dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan
presipitasi kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat.
Pigmentai kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5) Gastrointestinal
Walapun kadang gastrin
meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada pasien gagal ginjal
kronik dibandingkan polpulasi normal. Namun demikian, gejala mual muntah,
anoreksia, dan dada terbakar sering
terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat
menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan
pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
6) Endocrine
Pada pria, gagal ginjal
kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah
serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido,
berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal
dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertubuhan pada anak dan
kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7) Neurologis
dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak
diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran, dan bahkan koma,
sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis,
agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus
pergelangan kaki, hiperfleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat
kejang). Aktifitas natrium/kalium ATPase terganggu pada uremia dan terjadi
perubahan yang tergantung pada hormon paratiroid pada transpor kalsium membran
yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal.
Nuropati perifer dapat
terjadi. Manifestasi yang khas adalah neuropati sensorimotorik distal, dengan
kehilangan sensorik berpola glove and stocking, dan kelemahan serta kehilangan
massa otot distal. Biasanya terjadi simetris namun dapat juga terjadi
mononeuropati terisolasi serta mengenai saraf kranial. Neuropati autonomik juga
dapat terjadi. Miopati dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin D,
hipokalsemia, hipofosfatemia, dan kelebihan PTH. Gangguan tidur sering terjadi.
Kaki yang tidak bisa diam (restless leg) atau kram otot juga dapat terjadai dan
kadang merespons terhadap pemberian kunin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti
depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan resiko bunuh diri.
8) Imunologis
Fungsi immunologis
terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi. Uremia menekan
fungsi sebagian besar sel imun dan dialisis dapat mengaktivasi efektor imun,
seperti komplemen, denagn tidak tepat.
9) Lipid
Hiperlipidemia sering
terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan katabolisme
trigliserida. Kadar lipid lebih tinngi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal
dari pada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein
plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 disepanjang membran peritoneal.
10) Penyakit
jantung
Perikarditis dapat
terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum atau fosfat
tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan
dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati
dilatasi. Fistula dialisis arteriovena yang besar dapat menggunakan proporsi curah
jantung dalam jumlah besar yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.
h. Penatalaksaan
Tata laksananya
meliputi diet retriksi asupan kalium, fosfat, natrium, dan air untuk
menghindari hiperkalemia, penyakit tulang, dan hipervolemia. Hipervolemia
ringan dapat menyebabkan hipertensi, dan mengarah kepenyakit vaskular dan
hipertrofi ventrikel kiri. Hipervolemia berat dapat menyebabkan edema paru.
Tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan balans cairan yang ketat
seharusnya diobati dengan inhibitor ACE, blocker reseptor angiotensin, β –
blocker, atau vasodilator. Anemia seharusnya diobati dengan eritropoetin,
setelah dipastikan tidak ada perdarahan dari saluran pencernaan atau menstruasi
berlebihan serta kadar besi, folat dan B12 adekuat. Penyakit tulang
diobati dengan mengurangi asupan fosfat, mengkonsumsi senyawa pengikat fosfat
bersama makanan, dan mengkonsumsi viatamin D dalam bentuk 1-hidroksi-vitamin D3
atau 1.25-dihidroksi- vitamin D3. Jika gangguan ginjal kronik
bersifat berat, dialisis atau transplantasi ginjal biasanya diperlukan selain
tatalaksana diatas. Kualitas hidup pasien yang menurun dapat diperbaiki dengan
tatalaksana kmplikasi ginjal kronik, terutama anemia(2).
E.
Penanganan
dan Pengobatan
1.
Hemodialisis
Pada PGK, hemodialisis
dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal buatan
(dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan kekompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeable buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen
dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi laruatan denagn
komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah
konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat pelarut sama dikedua kompartemen
(difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindahdari kompartemen darah
kekompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif
pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan cairan ini disebut ultrafiltrasi(5).
Besar pori pada selaput
akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat
molekul yang lebih besar dakan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan
berat molekul yang lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut
makin tinggi bila perbedaan konsentrasi dikedua kompartemen makin besar, diberi
tekanan hidrolik dikompartemen darah, dan bila tekanan osmotik dikompartemen
cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah
dengan darah untuk meningkatkan efisisensi. Perpindahan zat terlarut pada
awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama
dikedua kompartemen(5).
Terdapat 4 jenis
membran dialiser yaitu selulosa, selulosa yang diperkaya, sellulo sintetik, dan
membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi koplemen oleh gugus
hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang
digantika oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak
sehebat aktivasi oleh membran selulosa(5).
Luas permukaan membran
juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia
adalah dari 0.8 m3 sampai 2.1 m3. Semakin tinggi luas
permukaan membran semakin efisiensi proses dialisis yang terjadi(5).
Selama proses dialisis
pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120 -150 liter setiap
dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat
akan dapat denagn mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena
itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas – batas yang dapat
ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu
banyak mengandung zat yang memebahayakan tubuh. Dengan teknik reserve osmosis
air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori – pori kecil
sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul keceil seperti urea,
natrium dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis
dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus
dijaga agar kurang dari 200koloni/mL dengan melakukan desinfektan cairan
dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135 – 145 mEq/L. Bila
kadar natrium rendah maka resiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selam
hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan
hemodinamik akan berkurang tetapi akan menigkatkan kadar natrium darah pasca
dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung
untuk minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama
hemodialisis yang sulit ditangggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium
dalam dialisat dibuat lebih tinggi(5).
Dialiser dapat didaur
ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Segera setelah
selesai prosedur hemodialisa, dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang
banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser.
Dialkukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih
dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipaki
kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu dialiser disimpan denagn cairan
antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci
kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam
dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapt
menimbulkan gangguan pada pasien(5).
Cairan dialisat terbuat
dari konsituen esensial plasma – natrium, kalium, klorida, magnesium dan
glukosa, dan suatu buffer seperti bikaronat, asetat, dan laktat. Darah dan
dialisat mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Dengan demikian komposisi
plasma dapat dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium
dalam dialisat biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu
pergerakan kalium keluar dari darah(2). Terdapat dua jenis cairan
dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian
cairan asetat adalah bersifat asam sehinga dapat menimbulkan suasan asam
didalam darah yang akan bermanifestasi dengan vasodilatasi. Vasodilatasi akibat
cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang
diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama
hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat
kedalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi(5).
Bikarbonat merupakan basa yang dipilih, namun mengendap dengan kalsium atau
magnesium dan harus dibuat sesaat sebelum dialisis. Hali ini terutama berguna
pada pasien yang tidak stabil dan jika penyakit hati menggangu metabolisme
laktat atau asetat. Laktat dan asetat dimetabolisme oleh hati mengahsilkan
bikarbonat. Namun demikian, sampai hal tersebut terjadi, pengeluaran bikarbonat
oleh dialisis menurunkan PCO2 dan keadaan ini dapat menghanbat
ventilasi, sehingga berkontribusi dalam timbulnya hipoksemia. Asetat juag
merupakan vasodilator dan dapat menyebabkan hipotensi(2).
Pada proses dialisis
terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi
sistem koagulasi darah dengan akibat tmbulnya bekuan darah. Karena itu pada
dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga
teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas
heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari
– hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti denagn continous infusion.
Pada keadaan dimana resiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal atau teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan resiko perdarahan
berat miasanya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia,
koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan(5). Pada pasien yang
memmilik resiko perdarahan, protasiklin dapat digunakan untuk hal tersebut,
walaupun dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi(2).
Hemodialisi idealnya
membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi. Satu untuk mengeluarkan darah dan
satu untuk mengembalikannya dari mesin dialisis. Untuk jangka pendek, hal ini
dapat dicapai dengan kateter vena sentral berukuran besar berlumen ganda. Ini
dapat dibuat seperti terowongan dikulit untuk mengurangi resiko infeksi. Untuk
akses jangka panjang, biasanya dibuat dengan fistula arteriovena buatan pada
lengan dengan menyatukan arteri radialis atau brakhialis denagn vena, dengan cara
side- to- side atau side- to- end. Setelah bebrapa bulan,
fistula berdilatasi dan aliran tinggi yang melewatinya memungkinkan dua jarum
berukuran besar ditempatkan didalamnya untuk dialisis. Fistula dapat juga
dibuat dengan menyatukan arteri dan vena dengan graft politetrafluoroetilen
sintetik (Goretex). Kadang pirau (shunt) eksternal digunakan untuk menyatukan
arteri dengan vena. Pada pasien ginjal, jalur intravena sebaiknya selalu
dipasang ditangan bagian belakang, daripada di lengan, untuk mengurangi kerusakan
vena lengan yang mungkin diperlukan dikemudian hari untuk pembentukan fistula(2).
Jumlah tekanan darah yang mengalir kedialiser, harus memadai sehingga perlu
suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah
dibuatkan fistula dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran
darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi.
Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat betahan bertahun – tahun dan
komplisaninya hampir tidak ada(5).
Komplikasi akut
dialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang seirng terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual
dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium,
reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis
dan hipoksemia(5).
Masalah yang paling
sering berkaitan dengan akses dan termasuk trombosis fistula, pembentukan
aneurisma, dan infeksi, terutama graft sintetik atau akses vena sentral
sementara. Infeksi sistemik dapat timbul pada lokasi akses didapat dari sirkuit
dialisis. Transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah (blood borne
infection) seperti hepatitis virus dan HIV merupakan suatu bahaya potensial.
Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang mengandung
mikroglobulin – β2 dapat menyababkan sindrom terowongan kapal
(carpal tunnel syndrome) dan artropati destruktif dengan lesi tulang kistik.
Senyawa pengikat fosfat yang mengandung alumunium dan kontaminasi alumunium
dari cairan dialisat dapat menyebabkan toksisitas alumunium dengan dimensia,
mioklonus, kejang, dan penyakit tulang. Keadaan tersebut membaik dengan
pemberian deferoksamin (desferioksamin)(2).
Pasien hemodialisis
harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dlam gizi yang baik. Gizi
kurang merupakan prediktor penting untuk terjadinya kematian pada pasein
hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 – 1.2 gr/KgBB/hari dengan 50% terdiri
atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40 – 70
mEq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium
seperti buah – buahan dan umbi – umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada
ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40 -120 mEq/hari gunamengendalikan
tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang
selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebih maka
selama periode diantara dialiss akan terjadi kenaikan berat badan yang besar(5).
Kecukupan dosis
hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat
kolerasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan
mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung
urea reduction ratio (URR) dan (KT/N). URR dihitung dengan mencari rasio hasil
pengurangan kadar predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar
ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup
bila URR nya lebih dari 80%. Cara lain untuk menghitung adekuasi dengan
menghitung KT/N. Terdapat rumus Dourgirdas untuk menghitung KT/N dengan
memasukkan nilai ureum pra dan pasca dialisis, berat badan pra dan pasca
dialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminnggu KT/N dianggap cukup bila lebih
besar atau sama dengan 1.8(5).
Pada umunya indikasi
dialisis pada GGK adalah laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari
5mL/menit) yang ada didalal T praktek dianggap demikian bila TKK <5mL/
menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5mL/menit tidak selalu
sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu
dari hal tersebut dibawah:
1) Keadaan
umumnya buruk dan gejal klinis nyata
2) K
serum > 6 mEq/L
3) Ureum
darah >200mg/dL
4) pH
darah <7.1
5) anuria
berkepanjangan (>5hari)
6) fluid
overloaded
2.
Peritoneal
Dialisis
a. Pendahuluan
Pada dialisis
peritoneal, cairan diinfuskan melalui selang kedalam rongga peritoneum. Air dan
zat terlarut kemudian bergerak melewati membran peritoneal semipermeabel.
Membran ini terdiri dari tiga lapisan yaitu mesotel, interestisium, dan
diniding kapiler peritoneum. Air bergerak dari plasma ke larutan dialisat
dengan kadar glukosa tinggi secara osmosis. Molekul lain seperti asam amino,
dapat digunkan untuk menggantikan glukosa dalam cairan dialisis. Zat terlarut
bergerak bersama air dan juga bergerak secara difusi kedalam cairan dialisis.
Dialisis peritoneal lebih lambat dari pada hemodialisa, sehingga hipotensi,
hipoksia, disritmia, dan disekuilibrium jarang terjadi. Dialisis peritoneal
dapat membersihkan beberapa toksin uremik lebih baik dari pada hemodialisa dan
berkaitan dengan kejadian penyakit tulang, anemia, dan hipertensi lebih jarang.
Namun demikian, terdapat batas jumlah dialisis yang dapat dilakukan dan
sebagian besar pasien tidak mendapatkan penggantian ginjal yang cukup dengan
dialisis peritoneal(2).
b. Aspek
Klinis Dialisis Peritoneal
Kateter soft silastic
biasanya dimasukkan melalui terowongan pada kulit dan ditempatkan di rongga
peritoneum sebagai akses permanen ke rongga peritoneum. Pada masa sebelumnya,
kateter semi kaku digunakan untuk dialisis akut jangka pendek. Kantung – kantung
cairan dialisat steril ditempelkan pada kateter peritoneal dan dialirkan
kedalam rongga peritoneum oleh gravitasi. Kateter dijepit dengan kantong kosong
melekat dan, ketika dialisis selesai, jepit keteter dilepaskan dan cairan
dialirkan kedalam kantung olehgravitasi, kemudian kentung ini dilepas dan
dibuanng. Teknik ini disebut continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
karena pasien dapat melakukan aktivitas harian normalnya dengan cairan didalam
abdomen. Sekitar empat pertukarancairan digunakan setiap hari. Biasanya pasien
menggunakan 2 L dialisat segar setiap 4 jam. Biasanya satu kantung kuat dengan
kekuatan osmotik tinggi digunakan semalaman untuk mengeluarkan air. Dialisis
Peritoneal Intermitten (IPD) merupakan metode yang lebih jarang digunakan. Mesin
memompa cairan segar kedalam rongga peritoneum setiap 20 menit selama 12 sampai
48 jam. Beberapa pasien menggunakan sistem ini pada malam hari untuk
menghindari pergantian kantung pada siang hari(2).
Dengan kedua metode
tersebut, setiap fungsi ginjal yang tersisa berkontribusi secara signifikan
terhadap efisiensi dialisis secara keseluruhan. Dialisis peritoneal harus
dimulai dengan volume kecil dan hanya jika kateter terpasang dengan baik dan
tidak terinfeksi. Dialisis peritoneal mungkin tidak dapat dilakukan jika
operasi abdomen atau sepsis telah menyebabkan fibrosis, adhesi, atau hilangnya
permukaan peritoneum yang cocok untuk dialisis(2).
c. Prinsip
Dasar Dialisi Peritoneal
Untuk dialisis
peritoneal akut biasa dipakai stylet kateter (kateter peritoneum) untuk
dipasang pada abdomen masuk kedalam rongga peritoneum, sehingga ujung kateter
terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 L cairan dialisis dimasukan
kedalam kavum peritoneum melalui kateter tesebut. Membran peritoneum bertindak
sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum
peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah diperitoneum. Sisa – sisa
metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam
keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan
tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi
melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana
akan dikeluar dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah
dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat yang baru(5).
d. Cairan
Dialisat
Susunan cairan dialisat
mengandung elektrolit dengan kadar seperti plasma darah normal. Komposisi
elektrolit cairan dialisat bervariasi, namun prinsipnya kurang lebih terlihat
pada tabel 2.15. pada umumnya cairan
dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium
yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien
dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia,
dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3.5 – 4.5 mEq/L cairan dialisat(5).
Elektrolit
|
mEq/L
|
Tekanan
Osmotik (mOsm/L)
|
|
Na2+
|
140.0
|
140.0
|
|
Ca2+
|
4.0
|
2.0
|
|
Mg2+
|
1.5
|
0.8
|
|
Cl-
|
102.0
|
102.0
|
|
Laktat-
|
43.5
|
83.3
|
|
Glukosa
|
15.0
gr/L
|
||
291.0
mEq/L
|
371.6
mOsm/L
|
Tabel
2.15 Susunan elektrolit cairan dialisat
Tiap 1 liter cairan
dialisat mengandung 5.650 gram NaCl, 0.294 gram CaCl2, 0.153 gram
MgCl2, 4.880 gram NaLaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan
dialisat mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat
hipertonik (2.4;3.5; dan 4.25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik,
maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan
tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan
untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat menggangu aliran cairan, biasanya
diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500 – 1000 U tiap 2 L cairan(5).
e. Indikasi
Pemakaian Dialisis Peritoneal
Dialisat peritoneal
dapat digunakan pada pasien(5):
1) Gagal
ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
2) Gangguan
keseimbangan cairan, elektrolit, asam atau basa.
3) Intoksikasi
obat atau bahan lain
4) Gagal
ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
5) Keadaan
klinis lain dimana PD telah terbukti manfaatnya
f. Kontraindikasi
Dialisis Peritoneal
1) Kontra
indikasi absolut : tidak ada(5)
2) Kontra
indikasi relatif: keadaan – keadaan yang kemungkinan secara teknis akan
mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk
berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma
abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui
sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disetai
infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang seirng
digunakan untuk menilai efisiensi PD adalah dengan menentukan Peritoneal
clearance (klirefis peritoneal) dengan rumus(5):
CP : peritoneal clearance
U : konsentrasi zat tersebut dalam
cairan dialisat yang keluar dari kavum peritoneum
(mg%)
P : kosentrasi zat tersebut dalam
darah atau plasma (mg%)
V : volume cairan dialisat tiap menit
(mL)
Faktor yang
mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan
dialisat, equilibration time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam
kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat
permeabilitas peritoneum, dan aliran dara dalam kapiler pperitoneum(5).
g. Komplikasi
Dialisis Peritoneal(5)
1) Komplikasi
Mekanis
a) Perforasi
organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing atau hati)
b) Perdarahan
yang kadang – kadang dapat menyubat kateter
c) Gangguan
drainase (aliran cairan dialisat)
d) Bocornya
cairan dialisat
e) Perasaan
tidak enak dan sakit dalam perut
2) Komplikasi
Metabolik(5)
a) Gangguan
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
b) Gangguan
metabolisme karbohidrat perlu dipertahikan terutama pada penyandang DM berupa
hiperglikemia yang tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi
hipoglikemia post dialisis
c) Kehilangan
protein yang terbuang lewat cairan dialisat
d) Sindrom
disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gelaja – gejala berupa sakit
kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan
serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini
dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, dimana koreksi kelainan
biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering pada pasien denga
overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu
teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koneksi/penurunan ureum dalam
otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak.
Teori lain, teori hipoglikemia, perubahan pCO2 dan pH. Pergeseran
elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan K/Ca serum(5).
3) Komplikasi
Radang
a) Infeksi
alat pernapasan, biasanya berupa pnemonia atau bronkhitis purulenta
b) Sepsis
lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal diluar peritoneum seperti
pnemonia atau pielonefritis
c) peritonitis
h. Indikasi
DP Pada Gagal Ginjal Akut
Pasien GGA dapat
dilakukan DP atas dasar(5):
1) DP
pencegahan: DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan
2) DP
dilakukan atas indikasi:
a) Indikasi
klinis: keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata
b) Indikasi
biokimiawi: ureum darah >200 mg%, kalium <6mEq/L, HCO3 <10
– 15 mEq/L, pH < 7.1
i.
Perbedaan PD dan HD Pada Pasien GGK
Dialisis pada pasien
GGA dapat dilakukan dengan DP atau Hd tergantung keadaan atau kondisi pasien
dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini rumah sakit yang cukup besar
biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih
menguntungkan bila dilakukan DP, sedangkan yang lain lebih baik bila dilakukan
HD. Stewart dkk (1996) menemukan bahwa dari kasus – kasus GGA, 20 % lebih baik
bila dilakukan DP , 20% lebih baik bila
dilakukan HD, dan 60% sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD(5).
DP merupakan tindakan
yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat
dilakukan setiap rumah sakit tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan
tanpa persiapan sebelumnyadan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah
dilakukan keputusan untuk dialisis. Persoalan waktu ini kadang – kadang sangat
penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia
berat DP merupakan dialisis pilihan dalam keadaan – keadaan berikut(5):
1) Bila
penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi
2) Pasien
dengan perubahan volume darah tiba – tiba yang tidak diinginkan (hemodinamik
tidak stabil)
3) Pasien
dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre shock
4) Bayi,
anak kecil, dan pada usia lanjut yang secara teknis HD sulit dilakukan
5) Pasien
memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat
6) Bila
kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan
7) Pada
pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak
j.
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD)
CAPD adalah salah satu
bentuk DP kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah
merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan
secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy).
Terapi pengganti dapat berupa dialisis krpnik atau transplantasi ginjal.
Dialisis kronik dapat berupa HD adan DP. DP dapat berupa(5):
1) Intermitten
peritoneal dialisis (IPD). IPD dilakukan 3 -4 kali per minggu dan tiap kali
dialisis selama 8 -14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya
waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh
dibawah HD.
2) Continous
clclic peritoneal dialisis (CCPD). CCPD dilakuak tiap hari dan dilakukan waktu
malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3 – 4 kali. Cairan dialissi
terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12 – 14 jam. Pada waktu malam
cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritoneum 21/2 – 3 jam.
3) Continous
ambulatory peritoneal dialisis (CAPD). CAPD dilakukan 3 – 4 kali perhari, 7
hari perminggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum (dwell
time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell time pada waktu siang 4 – 6 jam,
sedangkan pada waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan
yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan berat molekul
antara 1000 – 5000 Dalton (middle molecule) 4 – 8 x lebih besar dari HD. Middle
molecule dianggap sebagai bahan toksik uremik yang diduga bertanggung jawab
terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikan keluh kesah dan
gejala uremia dengan baik. Namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia
tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah pengendalian adekuat
intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD
atau IPD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah
mantap dan merupakan dialisis pilhan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut
dan penyandang diabetes mellitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD
tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien.
Kesederhanaan, keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang
baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik
CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih
memerlukan perhatian adalah komplikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan
kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis dapat ditekan sekecil mungkin(5).
k. Prosedur
CAPD dan Dialisat
1) Prosedur
CAPD adalah suatu
teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila dilakukan 24 jam
perhari dan 7 hari perminggu tidak adekuat untuk mempertahankan pasien GGK
stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan waktu rata – rata 4 kali pergantian
perhari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien
dengan syarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam
baru akan terjadi keseimbangan kadar ureumdalam darah dan cairan dialisat.
Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai
dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2000 mL dapat dicapai
dengan 2 kali per gantian dengan cairan dialisat 4.25%. bila ultrafiltrasi kita
lakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi
ortostatik(5).
2) Dialisat
Cairan dialisat yang
ada pada saat ini di Indonesia terddiri atas tiga macam cairan yaitu dengan
kadar dekstrosa 1.5%, 2.5%, dan 4.25%dalam kantong plastik 2 L. Susunan cairan
dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan
osmolaritas lebih tinggi dai plasma (osmolaritas plasma 290mOsm/L) dan ditambah
laktat. Bila pasien normokalemia atau hipokalemia, perlu penambahan 1 KCL
samapi konsentrasi 4 mEq/L untuk mencegah hipokalemia berat(5).
Heparin perlu
ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau
protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1000 –
2000 USP units per liter cairan dialisat(5).
l.
Kontra Indikasi
Kontraindikasi CAPD
adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigi (seridemia familial), hernia pada
dinding abdomen (perlu perbaikan dulu), dan pasien yang tidak bisa diajak
bekerjasama. Hati – hati melakukan CPAD bila ada perlengketan yang luas,
distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar dll(5).
m. Hasil
Pengendalian CAPD(5)
1) BUN
dan kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2 – 5 cc/menit dengan CAPD
selama 2 – 3 minggu, BUN 50 + % mg% dan kreatinin plasma <12mg%. CAPD
mempertahankan kedua paremeter tersebut lebih rendah dari IPD.
2) Air
dan elektrolit bikarbonat
Air dan natrium.
Ultrafiltrasi sebanyak 2 L per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali
pergantian dengan dekstrosa 1.5% dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4.25%.
setiap hari dapat dikeluarkaan 3 – 4 gram natrium sehingga keseimbangan Na
dapat dicapai dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak membutuhkan
pembatasan air dan garam.
Elektrolit. Elektrolit
dengan cepat dapat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na=
138 : t 3 mEq/L; Cl = 100: t 5 mEq/L; K = 4.1: t 0.4 mEq/L dan HCO3
= 25: t 4 mEq/L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan
penambahan kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari konsentrasi
dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan
hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga
oleh pengaruh solvent drag.
Meskipun relatif hanya
sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEq/L) perhari, sedangkan pasien
tanpa pembatasan pemasukan kalium (50 -80 mEq/hari), kadar kalium plasma darah
tetap normal. Hali ini diduga karena kenaikan ekskresi kalium melaui tinja.
Kalium menunjukan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat
menurunnya hormaon paratiroid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada
dalam makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat fosfat dalm dosis kecil.
Bikarbonat dengan konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq/L akan
menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata – rata 18 mEq/L menjadi 22.23
mEq/L.
Konsentrasi Dekstrosa
|
Osmolaritas (mOsM/L)
|
pH
|
Na
|
Ca
|
Mg
|
Cl
|
Laktat
|
1.5%
|
347
|
5.5
|
132
|
3.5
|
1.5
|
102
|
35
|
2.55
|
398
|
5.5
|
132
|
3.5
|
1.5
|
102
|
35
|
4.25%
|
486
|
5.5
|
132
|
3.5
|
1.5
|
102
|
35
|
Tabel
2. 16 susunan cairan dialisat (travenol)
.
3) Hemoglobin
dan hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb
dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan kesepuluh
dan akhirnya diikuti penurunan dan pad umumnya stabil pada kadar 8 g/dL. Ini
disebabkan kemungkinan karena pengambilan bahan toksik metabolik sehingga
memungkinkan sumsum tulang belakang bereakssi terhadap kenaikan eritropoetin
yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyababkan kenaikan Hb dan
Ht. Akan tetapi setelah Hb naik pacuan pada sitem erotropoetin menurun dan bila
perbandingan antara eritropoetin dan zat toksik kembali ke nilai semula, Hb dan
Ht akan kembali menurun.
4) Protein
dalam plasma dan hilangnya protein . serum protein pada umumnya stabil pada
nilai rendah normal dengan kadar albumin rata – rata 3.5 ± 0.8 mg%. Ini
disebabkan karena hilangnya protein melalui mebran peritoneum selama CAPD dan
75% dari protein yang hilang adalh albumin. Disamping protein ( 5 – 15 per
hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2 – 3 gr/hari.
Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat
dan pernah tidaknya menderita peritonitis sebelumnya.
5) Glikosa
darah. Glukosa darah yang masuk kedalam plasma selama CAPD antara 150 – 200 gr
lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya tidak menyebabkan
hiperglikemia. Banyaknya glukosa yang masuk dalam darh ini sering dikaitkan
dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol dan trigliserida dalam
darah. Pada penyandang DM kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan
pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal dan subkutan.
6) Kolesterol
dan trigliserida pada pasien CAPD menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut
dan diduga dengan penyerapan glukosa kedalam plasma. Dianjurkan sedapat mungkin
tidak menggunakan caairan dialisat hipertonik
7) Tekanan
darah. Pengendalian edema akan berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan
ini terjadi bila digunkan cairan dialisat hipertonik.
n. Efek
Psikososial Pasien Dengan CAPD
Keuntungan yang paling
utama pasien GGk stadium akhir dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang
memberikan kebebasan yang lebih daripada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan,
hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien
biaya yang relatif murah merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien(5).
Rehabilitasi pasien
dengan CAPD ternyata sama saja dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan
beberapa perubahan fisis kearah perbaikan antara lain menstruasi dapat teratur,
nafsu seks kembali, gatal – gatal menghilang, tumbuhnya rambut diketiak dan
dada, perubahan warna dan kekeringan dikulit dan lain sebagainya. Pada pasien
dengan umur dibawah 50 tahun, CAPD tidak menggangu dan mengurangi kepuasan
hubungan kelamin sedangkan diatas umur 50 tahun terjadi penurunan aktivitas
seks mungkin karena penyakit kroniknya(5).
o. Diet
Pasien Dengan CAPD
Tidak ada pembatasan
ketat yang harus dilakukan terhadap diet pasien dengan CAPD namun perlu
ditekankan pentinya hubungan antara intake dan output, keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk menghindari
balans. Nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan protein tinggi (minimal
1.2gr/KgBB/hari) dan energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD disebabkan
karena hilangnya protein (6 – 8 gr/hari), peritonitis, penurunan asupan protein
dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD berlangsung 1 tahun dan adanya
pacuan kronik terhadap katabolisme protein(5).
p. Komplikasi
Komplikasi CAPD dapat
kita bagi menjadi(5):
1) Komplikasi
teknis
Pada umumnya bukan
merupakan komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya
cairan dialisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat,
kesalahan letak kateter dan lain sebagainya.
2) Komplikasi
medis
Pada umumnya dapat
diatasi dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan
gastrointerestisial (mual, muntah, hilangnya nafsu makan dll), sakit sendi dan
sakit tulang punggung, kram, perasaan lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuk
kateter, perasaan sakit diabdomen dan peritonitis.
Peritonitis adalah
komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat ini dibeberapa pusat ginjal angka
kejadian peritonitis menurun sampai serendah 1 episode every 4 patiens years
dan penurunan ini terutama karena lebih baiknya seleksi dan latihan pasien
serta kemajuan teknoligi seperti connector, in line filters, dan y tubing.
Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta
sakit abdomen. Disamping itu didapat pula disertai mual, muntah, panas, menggigil,
maupun diare. Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding perut,
kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab kuman paling tersering adalah Staphylococus aureus dan epidermitis (40
– 60%) yang merupakan gram positif, 20 – 40% disebabkan gram negatif dan
sisanya karena fungi dan aseptik. Bila ada gejala – gejala peritonitis segera
dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementara menunggu hasil laboratorium dapat
diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif) dan tobramisisn (untuk gram
negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan dialisat. Dosis
antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang diberikan intraperitoneal (mg/L
cairan dialisat) adalah metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200),
sefoksitin (100), Vankomisin (20), kanamisin (20), gentamisin (10), tobramisin
(10) amikasin (20), klindamisin (20), kloramfenikol (20), amfoterisin (1 – 20).
3.
Hemofiltrasi
Kontinu
Dengan hemofiltrasi
kontinu, darah vena dipompa dengan tekanan tinggi ke membran yang sangat
permeabel untuk memproduksi sejumlah besar ultrafiltrat, analog denagn filtrasi
glomerulus. Filtrat lalu dibuang dan digantikan dengan larutan elektrolit yang
seimbang dalam jumlah yang sesuai, yang ditambahkan lagi kedarah. Larutan ini
mengandung natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan buffer seperti
bikarbonat, asetat, atau laktat/ keuntungan utama teknik ini dibandingkan
dialisis adalah teknik ini berlangsung lambat dan kontinu, sehingga
menghindarkan dari perubahan zat terlarut yang cepat selama dialisis. Untuk
alasan tersebut, teknik ini cocock untuk pasien sakit berat atau tidak stabil
secara hemodinamik dengan gagal ginjal akut atau penyakit ginjal stadium akhir.
Hemofiltrasi mudah dilakukan melalui kateter vena sentral lumen ganda. Seperti
pada hemodialisis, darah diberi antikoagulan heparin atau prostasiklin.
Hemofiltrasi arteriovena kontinu merupakan metode lebih tua yang menggunakan
tekanan darah arteri pasien sebagai gaya gerak filtrasi(2).
a. Prosedur
khusus yang berkaitan
1) Pertukaran
Plasma
Pertukaran plasma
mengeluarkan antibodi dan molekul imunologis aktif berukuran besar lainnya
untuk mengobati penyakit yang dimediasi imun. Membran yang sangat permeabel
digunakan untuk memfiltrasi plasma dari sel darah dan seperti pada
hemofiltrasi, filtrat dibuang dan diganti dengan larutan baru. Cairan pengganti
harus mengandung elektrolit pengganti dan dapat juga mengandung protein seperti
albumin atau faktor pembekuan. Faktor pembekuan dikeluarkan pada proses ini dan
fresh frozen plasma biasanya diberikan untuk memisahkan plasma dari sel darah
dalam proses yang disebut aferesis sentrifugal(2).
2) Hemoperfusi
Hemoperfusi digunakan
untuk mengeluarkan racun dari darah. Pada hemoperfusi, darah dipompa melalui
suatu wadah yang mengandung karbon aktif yang dilapisi zat biokompatibel; darah
dimasukkan kembali ke pasien. Karbon mengikat sebagian besar obat dan racun,
namun polimer dan resin yang lebih baru sedang dikembangkan untuk dapat
mengikat zat spesifik. Kolom yang mengandung antigen spesifik dapat digunakan
untuk mengikat dan mengeluarkan antibodi spesifik terhadap antigen.
Imunoabsorpsi telah digunakan sebelum transplantasi untuk mengeluarkan antibodi
dari pasien yang telah memiliki antibodi terhadap molekul donor(2).
4.
Transplantasi
Ginjal(2)
Ginjal dapat berasal
dari donor hidup yang memiliki hubungan kekerabatan atau donor yang mati otak
atau donor yang baru meninggal. Organ ini diimplan di fossa iliaka kanan atau
kiri. Arteri renalis dijahit ke arteri iliaka eksterna atau interna dan vena renalis
ke vena iliaka eksterna, dan ureter ditanam pada dinding kandung kemih. Sistem
imun menyerang benda asing, termasuk transplan. Manusia memiliki banyak gen
polimorfik yang berbeda pada orang yang berbeda, dan mengenali transplan
sebagai benda asing. Untuk menghindari serangan antibodi, segera donor dan
resipien harus memiliki golongan darah yang kompatibel.
Human Leukocyte Antigen
(HLA) merupakan protein yang sangat polimorfik. Ketidak cocokan HLA antara
organ transplan dan resipien, terutama molekul HLA – A, HLA – B, atau HLA – DR,
meningkatkan resiko penolakan dan sebisa mungkin dihindari. Molekul HLA
mengikat fragmen peptida dari antigrn protein pada suatu lekukan untuk dikenali
oleh sel T. Peptida dari protein diri sendiri diikat dan dikenali sebaga diri
sendiri oleh sel T. Selama infeksi, peptida dari patogen diikat, dan memicu
serangan imun. Selam transplantasi yang tidak cocok, sel T melihat molekul HLA
asing dan hal ini memicu serangan imun tanpa mempertimbangkan peptida yang
terikat. Bahkan molekul HLA yang cocok dari suatu organ transplan pun dapat
berikatan dengan peptida dari molekul polimorfik tidak cocok yang lain dan
memicu serangan imun.
a. Imunosupresi
1) Steroid
Seperti prednisolon dan
metilprednisolon berikatan dengan reseptor steroid, menghambat transkripsi gen
dan fungsi imunologis pada sel T, makrofag, dan neutrofil. Efek sampingnya
meliputi infeksi, ulkus peptikum, osteoporosis, hipertensi, hiperglikemia,
obesitas, perubahan mood, penyembuhan luka yang buruk, katarak, dan supresi produksi
glukokortikoid adrenal.
2) Siklosporin
Membentuk kompleks
dengan siklofilin, yang menghambat kalsineurin. Kalsineurin normalnya
menyebabkan defosforilasi pada faktor transkripsi NF – AT, memungkinkan masuk
nukleus dan memacu ekspresi sitokin, terutama interleukin – 2 (IL – 2). Karena
itu, siklosporin menghambat sintesis IL -2 dan aktivasi sel T. Efek sampingnya
meliputi nefrotoksisitas, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipertensi,
hepatotoksisitas, hiperplasia gusi, dan hirsutisme. Nefrotoksisitas kronik disebabkan
oleh iskemia glomerulus dan fibrosis interstisial. Kadar siklosforin plasma
harus dipantau. Obat yang dapat menginduksi aktivitas sitokrom P450 hepatik
menurunkan kadar obat ini.
3) Azatioprin
Dimetabolisme menjadi 6
– merkaptopurin, yang menghambat metabolisme purin, dan dengan demikian
menghambat sintesis asam nukleat dan poliferasi sel, terutama pada limfosit dan
neutrofil. Efek sampingnya meliputi infeksi, pankreatitis, dan depresi sumsum
tulang dengan neutropenia dan terkadang anemia megalobastik serta
trombositopenia. Alopurinol dapat menyebabkan kadar 6 – metakaptopurin toksisk
dengan cara menghambat xantin oksidase, enzim yang mendegradasi zat tersebut.
4) Mikofenolat
Menghambat inosin
monofosfat dehidrogenase. Suatu enzim yang dibutuhkan untuk sintesis asam
nukleat. Mirip dengan azitioprin, mikofenoleat mengahambat fungsi sel B dan sel
T. Efek sampingnya meliputi esofagitis, gastritis, dan diare, namun bukan
supresi sumsum tulang belakang.
5) Takrolimus
Berikatan dengan
imunofilin FKBP untuk membentuk kompleks yang mengahambat kasineurin dan dengan
demikian memiliki efek yang mirip denagn sikosporin dan juga menyebabkan
nefrotoksisitas dan hipertensi.
6) Sirolimus
(rapamisin)
Juga berikatan dengan
FKBP untuk mengahmbat mTOR, suatu fosfo – inositol – 3 kinase. Hali ini mengeblok
translasi protein, yang sinyalkan melalui reseptor IL -2 dan poliferasi sel T
dan sel B melaliu siklus sel.
7) Terapi
Biologis
Antibodi poliklonal
dari kuda atau kelinci terhadap sel darah putih manusia atau antibodi
monoklonal terhadap molekul permukaan sel T seperti CD3, menyebabkan deplesi
sel darah putih dan imunosupresi. Antibodi, seperti basiliksimab, mengeblok
reseptor IL – 2 rantai α (CD25) pada sel T yang teraktivasi dan elatif tidak
terkena deplesi. Protein rekombinan, seperti CD152 (CTLA4), yang berinteraksi
dengan molekul regulator pada limfosit ternyata juaga memilki efek
imunosupresif
8) Strategi
Transplantasi Dimasa Depan
Idealnya, imunosupresi
hanya akan mneghambat respons imun terhadap organ transplan, dan tidak menggangu
respon lainnya. Alternatifnya, toleransi terhadap organ dapat diinduksi sebelum
transplantasi. Babi yang telah dimodifikasi secara genetik sedang dikembangkan
agar menjadi kurang imunogenetik dibanding dengan jaringan babi normal.
b. Komplikasi
Transplantasi
1) Komplikasi
dini transplantasi
Fungsi ginjal buruk
dapat mengindikasikan penolakan akut, toksisitas siklosporin, atau nekrosis
tubular akut akibat iskemia sebelum ginjal direvaskularisasi. Biopsi pada organ
yang ditransplantasi dapat membedakan kemungkinan – kemungkinan tersebut.
Masalah prarenal dan pasca renal dapat juga timbul. Penolakan selular merupakan
proses yang dimediasi oleh sel dan diobati dengan terapi medikamentosa atau
terapi antibodi. Penolakan vaskular lebih bersifat agresif dan sering dimediasi
antibodi. Biasanya terjadi kerusakan pembuluh darah dan pertukaran plasma
digunakan untuk mengeluarkan antibodi. Infeksi sitomegalovirus (CMV) dapat
menyebabkan demam, retinopati, heptitis, enteritis, pneumonitis, dan
trombositopenia. Pengobatan dengan glasiklovir, foskarnet, atau sindovir.
Penyakit limfoproliferatif pascatransplantasi merupakan penyakit menyerupai
limfoma yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV). Penyakit ini dapat
membri respon terhadap penghentian imunosupresi.
2) Komplikais
kronik transplantasi
Hilangnya fungsi ginjal
yang disebabkan oleh mekanisme imun dan nonimun sebagai penolakan kronik.
Faktor yang berkontribusi antara lain penolakan imunologis, nefrotoksisitas
sefalosporin, hipertensi, dan penyakit rekuren (terutama pada
glomeruloskelrosis fokal segmental, nefropati membranoproliferatif, dan
nefropati IgA). Hipertensi dapat timbul akibat pengguna steroid, vasokontriksi
yang diinduksi sefalosporin, sekresi renin oleh ginjal asli, atau stenosis
arteri renalis pada organ yang ditransplantasi. Hiperlipidemia sering ditemukan
tetapi steroid atau siklosporin. Steroid juga menyebabkan osteoporosis adan
osteonekrosis generalisata pada kaput femoris. Kadar PTH tinggi dapat
menyebabkan fosfaturia yang membutuhkan suplementasi fosfat dan terkadang
menyebabkan hiperkalsemia. Kanker kulit merupakan komplikasi lanjut yang sering
dan insidensinya meningkat dengan pajanan sinar matahari.
F.
Pencegahan
Gagal Ginjal
Lebih baik mencegah
dari pda mengobati, kata – kata bijak ini sering kita dengar dalam hidup kita.
Kiranya kata – kata itu memang tepat, penyakit ginjal dan beberapa penyakit
lain memang bisa diobati namun alangkah baiknyakalu kita menjaga diri kita agar
terhindar dari penyakit. Dengan pola dan gaya hidup yang tepa, maka kesehatan
kita yaitu kesehatan organ – organ tubuh kita juga akan terjaga dengan baik.
Berikut ini disajikan tips – tips untuk menjaga agar ginjal kita dapat
terpelihara dengan baik(4).
1.
Pengaturan
makanan dan minuman (diet)
Makanan dan minuman
penting bagi setipa orang, namun tidak semua makanan dapat mendukung kesehatan
kita. Misalnya, makanan yang mengandung kolesterol tentu tidak sehat bagi
jantung kita. Bagi penderita gagal ginjal, perlu memperhatikan menu makanan
yang dikonsumsinya. Penderita gangguan ginjal perlu diet ketat terhadap makanan
tertentu. Hal ini dikarenakan saat ginjal mengalami gangguan atau kerusakan,
zat – zat sisa metabolisme dan cairan yang berlebihan dan tidak diperlukan akan
terganggu pembuangannya sehingga menumpuk didalam darah. Darah yang masih
mengandung sisa hasil metabolisme ini akan mengalir lagi ke jantung dan hati
kita, hal ini tentu sangat berbahaya bagi kesehatan fungsi jantung dan hati.
Kerusakan ginjal biasanya menyebabkan gangguan fungsi jantung dan hati. Oleh
karena itu, orang yang mengalami gangguan ginjal perlu membatasi dan mengatur
jumlah dan jenis makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuh. Zat – zat sisa
dan cairan yang lebih sedikit menumpuk dalam darah sehingga keluhan berkurang
dan tubuh lebih nyaman.
Makanan yang perlu
dipantang oleh PGK ialah makanan yang mengandung protein tinggi. Tubuh kita
memang membutuhkan protein, tapi kebutuhan itu harus dalam jumlah yang cukup.
Protein yang berguna antara lain untuk membangun tubuh dan memperbaiki jaringan
(misalnya otot – otot) yang mengalami kerusakan. Metabolisme protein dalam
tubuh menghasilkan zat sisa berupa urea, pada ginjal sehat hasil metabolisme
protein ini akan disaring dan dibuang bersama air seni. Namun, pada ginjal yang
mengalami gangguan ure tidak akan tersaring secara sempurna dan tertumpuk
didalam darah, menimbulkan apa yang disebut peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN). Salah satu cara untuk mencegah
penimbunan protein dalam darah adalah dengan mengurangi asupan protein.
Penderita PGK memang
perlu mebatasi konsumsi protein, namun penderita PGK ini tetap membutuhkan
protein untuk kelangsungan metabolisme tubuhnya. Secara umum, pengaturan asupan
protein dilakukan berdasarkan kadar GFR penderita PGK yang bersangkutan, dengan
mengikuti contoh sebagai berikut:
a. Mengurangi
asupan garam
Penderita gagal ginjal
juga perlu membatasi konsumsi garam. Garam mengandung unsur natrium yang
bersifat menahan air. Konsumsi garam menyebabkan tumpukan cairan didalam tubuh.
Tumpukan cairan ini menyebabkan kerja jantung dan paru – paru bekrja dengan
lebih keras. Pengurangan asupan garam akan mengurangi penumpukan cairan dalam
tubuh. Selain itu, pengurangan garam juga mengurangi rasa haus, rasa haus
berkurang sehingga otomatis tidak terlalu banyak minum air. Beriku adalah tips
mengurangi asupan garam:
1) Cek
label makanan disupermaket jika akan membeli makanan. Pilih makanan yang tidak
terlalu banyak mengandung natrium atau sodium (sebaiknya kurang dari 400mg
natrium persaji).
2) Banyak
mengkonsumsi makanan yang segar dari alam seperti sayur atau buah. Hindari
makanan kaleng atau makanan instan.
3) Kurangi
garam dalam makanan yang akan dikomsumsi. Gunakan bumbu seperti bawang, jeruk
nipis, kayu manis, dan lainnya sebagainya untuk memberi rasa masakan agar tidak
terlalu tawar.
4) Jika
mengguanakan pengganti garam, pilihlah yang tidak mengandung kalium.
b. Mengurangi
asupan air/cairan
Ginjal pada kondisi
normal berfungsi mengatur cairan dalam tubuh, termasuk jumlah cairan yang
dibuang melalui air kencing. Pada saat ginjal mengalami gangguan pengaturan ini
juga akan terganggu. Karena itu, cairan yang masuk kedalam tubuh perlu diatur,
dan jika perlu dikurangi (sesuai anjuran dokter). Berikut ini adalah tips
mengurangi asupan air/cairan:
1) Agar
mulut tepat basah isap – isap potongan jeruk lemon atau permen asam atau permen
karet.
2) Minumlah
hanya jika benar – benar haus saja
3) Kurangi
makanan yang terlalu asin agar tidak mudah haus
4) Jangan
terlalu banyak mengkonsumsi biskuit atau kraker atau camilan yang terlalu asin
5) Jika
anda penderita diabetes. Anda juga perlu mengontrol kadar gula darah agar tidak
terlalu tinggi. Kadar gula darah tinggi membuat anda akan lebih mudah haus
c. Mengurangi
asupan kalium
Penderita gangguan
ginjal juga perlu mengurangi asupan kalium. Kalium adalah sejenis mineral yang
dibutuhkan tubuh dan bisa kita peroleh dari makanan. Bahan makanan yang
mengandung kalium seperti pisang, tomat, bayam, dan kacang. Seperti halnya
garam natrium dan air, kalium juga diatur kadarnya dalam tubuh oleh ginjal.
Karena itu, ginjal yang rusak dapat berakibat kadar kalium dalam darah
meningkat, sehingga pembatasan kalium dari makanan mungkin diperlukan agar
kadar kalium tidak berlebihan. Kadar kalium yang berlebihan dapat menimbulkan
masalah seperti gangguan irama jantung yang bisa berakibat fatal. Berikut
adalah tips mengurangi asupan kalium:
1) Baca
label makanan untuk mengetahui jumlah kalium yang terkandung, dan batasi
konsumsi makanan yang mengandung kalium dalam jumlah tinggi (seperti bayam,
tomat, kacang yang dikeringkan, kentang, tomat, pisang dan jeruk)
2) Merebus
makanan bertepung seperti kentang dengan air tawar yang banyak dapat mengurangi
jumlah kalium yang terkandung didalamnya. Jangan lupa tiriskan dan buang air
rebusan sebelum dihidangkan.
d. Mengurangi
asupan fosfat
Asam fosfat terkandung
didalam susu dan produk olahan yang berasal dari susu. Selain produk susu dan olahannya, kacang –
kacangan kering, dan coklat, merupakan makanan yang mengandung fosfat dalam
jumlah banyak. Konsumsi makanan tersebut dapat meningkatkan kadar fosfat dalam
darah. Kelebihan fosfat karena ginjal tidak dapat membuang kelebihan dari zat
ini berefek memperlemah tulang – tulang didalam tubuh. Bagi penderita gagal
ginjal terkadang dokter meresepkan obat pengikat fosfat untuk membantu tubuh
mengurangi kadar fosfat yang berlebihan. Obat ini sebaiknya dikonsumsi bersama
makanan untuk mencegah diserapnya fosfat kedalam peredaran darah, sehingga
kadar fosfat tidak menigkat.
Namun kebutuhan nutrisi
dan asupan cairan setiap orang tidakalah selalu sama. Oleh karena itu, ada
baiknya kalau penderita gagal ginjal selalu berkonsultasi dengan dokter atau
ahli gizi untuk mengetahui pengaturan gizi yang tepat bagi dirinya.
2.
Olahraga
yang sesuai
Olahraga memang
merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi kesehatan tubuh kita.
Olahraga akan dapat membuat proses metabolisme dalam tubuh kita berjalan
lancar. Tubuh yang sehat tentu akan mendukung berfungsinya organ – organ dalam
tubuh. Terlebih lagi saat ginjal mengalami gangguan, mempertahnkan kesehatan
organ – organ tubuh lainnya menjadi lebih penting lagi. Olah raga teratur akan
menjaga kesehatan paru – paru dan jantung, mem[erbaiki peredaran darah
keseluruh tubuh, sehingga memberi energi dan menjaga kinerja seluruh organ
tubuh. Olahraga juga memperbaiki kelenturan otot, yang akan membantu memperkuat
tulang. Hal ini penting karena PGK sering kali memperlemah tulang. Olahraga
aerobik (misalnya, lari, berenang)juga membantu mengurangi tekanan darah
tinggi. Berikut adalah tips berolahraga bagi penderita PGK:
a. Olahraga
sebaiknya dilakukan secara teratur. Olahraga yang tidak teratur tidak akan
membawa manfaat yang maksimal. Frekuensi olahraga yang ideal berbeda – beda
untuk setiap orang. Olahraga dapat dilakukan teatur 3 atau 4 kali seminggu,
sesuai kemampuan, yang penting teratur.
b. Bagi
yang baru memulai kebiasaan berolahraga, cobalah berolah raga dalam waktu
singkat dahulu pada awalnya, misalnya 15 menit. Lama kelamaan. Jkai tubuh sudah
lebih terbiasa. Perbanyak waktu olah raga menjadi 30 menit atau 1 jam, sesuai
kemampuan.
c. Janganlah
berolahraga terlalu berlebihan atau memaksakan diri, jika dirasakan tubuh sudah
tidak kuat lagi, segera berhenti. Jangan sampai merasa kelelahan.
3.
Menjaga
kestabilan emosi
Sering kali penderita
PGK mengalami stress dan depresi karena penyakitnya susah untuk disembuhkan.
Selain karena penyakitnya susah untuk disembuhkan, penderita PGK juga mengalami
stress karena besarnya biaya yang
dibutuhkan sselama menjalani proses terapi. Kerusakan fungsi ginjal ternyata
juga mempengaruhi kinerja organ tubuh lainnya. Misalnya saja kondisi uremia
(penumpukan zat –zat sisa dalam tubuh yang dialami olah PGK) juga dapat berefek
terhadap sistem saraf. Membuat perasaan menjadi labil dan sering berpindah –
pindah dari marah menjadi gembira, dan sebailknya (mood swing).
Oleh karena itu
penderita PGK sangat membutuhkan dukungan dari orang – orang yang ada
didekatnya. Kestabilan emosi dapat membantu proses penyembuhan secara lebih
cepat. Berikut beberapa tips yang meungkin dapat membantu Anda dalam
mengendalikan emosi dengan lebih baik:
a.
Konsultasi dan sharing
Seringakali stress yang
timbul diakibatkan karena ketakutan akan penyakit yang dialami. Oleh karena
itu, sangat baik jika penderita PGK bercerita pada orang yang ia percayai.
Denagn berbagai cerita masalah yang sdang dihadapi dapat terasa lebih ringan. Memendam
kesulitan dan kekhawatiran sering kali justru menambah ekstra permasalahan yang
sudah ada. Sebaliknya, membicarakan dan mendiskusikannya terkadang membantu
kita menemukan solusi yang sebelumnya tidak terlihat. Jika tidak ada solusi
yang muncul pun, sekedar membicarakan dan sharing
masalah pun seringkali dapat membantu meringankan beban pikran dan membuat hati
lebih lapang.
b. Berkumpulah
dengan pasien PGK lainnya
Rasa senasib dan
sepenanggungan bisanya bisa menimbulkan rasa persahabatan. Setidaknya dengan
adanya orang yang mengalami penderitaan yang sama, penderita PGK tidak merasa
sendiri lagi dalam menapaki hidup yang berat. Berkumpulah dengan orang yang
mengalami penderitaan serupa sehingga bisa saling meneguhkan.
c. Dekatkan
diri dengan keluarga
Meskipun penderita PGK
adalah orang yang paling mengalami beban berat, namun keluarga pun mengalami
dampaknya. Mereka juga mengalami stress, rasa tidak berdaya, ketidakpastian
serta kekhawatiran karena Anda adalah bagian dari diri mereka. Jika Anda sedang
sakit mereka juga merasakan kesedihan Anda. Bukalah diri dan sering – sering
berbagi perasaan dan ikiran dengan keluarga, sesuai dengan cara Anda masing –
masing.
d. Pengetahuan
adalah kekuatan
Kadang Anda terlalu
takut karena Anda mendapatkan informasi yang salah mengenai penyakit Anda. Maka
lebih baik jika Anda mencari info seputar penyakit Anda pada buku – buku
referensi atau berkonsultasi pada dokter spesialis penyakit Anda.
e. Tetap
aktif dalam kegiatan sosial
Penyakit PGK bukanlah
penyakit menular sehingga Anda tetap aman dalam pergaulan dengan masyarakat.
Menderita PGK tidak berarti Anda tidak dapat menikmati kesenangan berkumpul
dengan para keluarga, kolega maupun teman. Kegiatan sosial membantu Anda
mengalihkan pikiran dari PGK dan membantu Anda terus terlibat dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk
Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC: 2006
2.
Chris O’ Callaghan. At a Glance Sistem
Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: EMS: 2007
3.
Diah, Choirul, Syalfinaf, Endang. Biologi
2. Jakarta: Esis: 2006
4.
Colvy, Jack. Gagal Ginjal (Tips Cerdas
Mengenali dan Mencegah Gagal Ginjal). Jakarta: DAFA Publishing: 2010
5.
Aru, Bambang, Idrus, M. Simadibrata, S.
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing: 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar